Selasa, 11 Oktober 2016

Yusran Darmawan: Pelajaran dari Tiga "Penjahat"

Yusran Darmawan: Pelajaran dari Tiga "Penjahat": ilustrasi KISAH tentang orang hebat sudah sering kita dengar. Demikian pula kisah tentang orang sukses, orang kaya, ataupun s...

Minggu, 22 Mei 2016

KEHENDAK DAN KEBEBASAN MANUSIA

KEHENDAK DAN KEBEBASAN MANUSIA

I.          PENDAHULUAN
“Jika kita manusia, maka kita adalah bebas; dan kalau kita tidak bebas, kita bukannya manusia”. Ungkapan ini merupakan butir refleksi folosofis seorang eksistensialis yang dalam jajaran para filsuf dikenal dengan nama Jean Paul Sartre. Melalui ungkapan tersebut sebenarnya Sartre hendak menegaskan bahwa “adanya manusia itu selalu sebagai makhluk bebas.”[1] Dengan kata lain, kebebasan merupakan salah satu aspek yang dimiliki oleh manusia. Manusia memilikinya dalam dirinya karena secara kodrati manusia berada sebagai makhluk yang berkebebasan.
Kendatipun demikian, tidak dapat dumungkiri bahwa di samping memiliki aspek kebebasan, manusia juga memiliki aspek kehendak. Di satu sisi, manusia adalah makhluk yang bebas, tetapi di sisi lain manusia pun adalah makhluk yang berkehendak. Hal ini menunjukkan bahwa aspek kebebasan pada manusia bertalian erat dengan aspek kehendaknya. Pertalian itu secara cukup eksplisit dapat dirumuskan sebagai berikut. Manusia tidak dapat tidak berkehendak karena ia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Ia mempunyai kemampuan menghendaki apa yang disukainya atau memilih secara bebas apa yang disukainya.[2] Dengan demikian, kita boleh sampai pada kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang berkehendak serentak memiliki kebebasan.
Segala pembahasan dalam paper sederhana ini bermaksud menguraikan aspek kehendak dan kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Dua aspek ini mewujud dalam berbagai kegiatan manusia dalam upaya untuk mencapai dan memenuhi tujuan ultim adanya. Karenanya pembahasan tentang kehendak dan kebebasan ini tidak terpaut jauh dari aspek-aspek lain seperti kesadaran dan keharusan.  Penjelasan aspek-aspek tersebut dirangkum dari berbagai pandangan dan pemikiran filosofis yang bersumber dari sejumlah karya-karya filsafat tentang manusia dalam beberapa buku filsafat.  
    
II.       MANUSIA: MAKHLUK YANG BERKEHENDAK
Dalam metafisika kehendak disebut dengan istilah appetitus yang juga berarti kecenderungan. Kecenderungan di sini dikaitkan dengan manusia karena manusia adalah makhluk yang secara alamiah memiliki kecenderungan (appeetitus naturalis). Ia adalah makhluk yang cenderung memaui atau menginginkan sesuatu. Dengan rumusan lain, manusia adalah makhluk yang berkehendak.
Berbicara tentang kehendak pada manusia tidak terlepas dari beberapa unsur penting. Kehendak selalu dikaitkan dengan objek tertentu yang kepadanya kecenderungan manusia terarah. Kehendak juga selalu bersinggungan dengan budi sebagai pengarah dan dan dasar kecenderungan. Pembahasan selanjutnya tentang kebebasan tidak terlepas dari dua aspek ini.
2.1     Objek dan Watak Kodrati Kehendak[3]
Manusia menyatakan dan mempertimbangkan, tetpi ia juga berkehendak dan memilih. Dalam perbuatan berkehendaknya, sperti dalam perbuatan mengenalnya, keakuaan hadir dalam dirinya dan menguasai dirinya. Ia mempunyai kemampuan menghendaki apa yang yang disukai, memilih apa yang dikendakinya. Kehendak yang dimiliki manusia secara mutlak adalah kebaikan atau ada sebagai kebaikan. Kebaikan adalah “ ada” sebagai objek kemauan. Itulah sebabnya mengapa manusia seharusnya cenderung kearah kebaikan dalam dirinya, kebaikan sempurna. Seandainya manusia di dunia ini dapat mengenal Tuhan sebagaimana ada-Nya, ia akan berada di hadapan objek total kehendaknya. Untuk itu, manusia tidak mengenal Tuhan secara utuh dan ia dapat menyimpang dari kebaikan yang diberikan. Pengingkaran eksplisit dari Tuhan itu bisa terjadi, karena manusia dapat berpaling secara eksplisit kearah objek lain seperti; kehormatan, kesenangan, dan kekuasaan.
Dengan kata lain, manusia secara mutlak ingin bahagia. Secara objektif, kebahagian berada dalam Tuhan, kebaikan sempurna, dan kehendak manusia, menurut kodratnya sendiri, cenderung kepada-Nya. Akan tetapi, secara subjektif manusia mempunyainkemampuan untuk meletakan kebahagiannya dalam realitas lain dan pada akhirnya mengarah kepada Tuhan.
Objek atau arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut tujuan.  Ini senantiasa adalah kebaikan. Kebaikan ini berujud material atau nonmaterial, fisik atau moral, riil atau semu saja.
2.2        Budi dan kehendak[4]
Ada hubungan yang sangat erat antara budi dan kehendak. Kehendak dari dirinya sendiri buta. Kehendak tertarik oleh suatu kebaikan yang diperlihatkan kepadanya oleh budi. Orang membedakan kebaikan subjektif dari kebaikan objektif. Setiap kebaikan memang bersifat subjektif karena berelasi dengan manusia sebagai subjek. Namun, subjektif tidak sama dengan subjektivisme. Suatu kenyataan menjadi baik bukan melulu karena dinilai baik oleh subjek. Dasar kebaikan ialah kenyataan itu sendiri. Kebaikan seperti ini disebut kebaikan objektif atau kebaikan yang benar. Kebaikan dan kebenaran tak dapat dipisahkan. Dsar kebaikan bukan subjek, melainkan kenyataan yang objektif. Kebenaran diperlihatkan kepada kehendak sebagai kebaikan melalui budi. Di sini, ada hubungan erat antara budi sebagai lumen natural (cahaya kodrati) dan kehendak sebagai desiderium naturale (keinginan kodrati). Panggilan manusia adalah menjadi diri yang sejati. Diri yang sejati sama dengan diri yang benar dan indah.   
III.     KEBEBASAN MANUSIA
3.1     Apa itu kebebasan?[5]
Bagian ini menjelaskan arti kebebasan dalam terang pemahaman Lehay sebagaimana ditulisnya dalam karyanya “Siapakah Manusia?”. Untuk mempermudah pemahaman ia membandingkan manusia dan binatang.
Menurutnya, pada umumnya, kata kebebasan berarti ketiadaan paksaan. Ada bermacam-macam paksaan dan kebebasan. Kebebasan fisik adalah ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban; misalnya, tidak ada paksaan, hukum, keharusan atau apapun bagi seorang Katolik untuk pergi misa setiap hari. Kebebasan psikologis (kebebasan pilihan) adalah ketiadaan paksaan psikologis. Paksaan psikologis berupa kecenderungan-kecenderungan yang memaksa seseorang untuk melakukan beberapa kegiatan tertentu. Demikianlah, seekor binatang yang lapar (tidak terlatih) dipaksa oleh kelaparannya untuk memakan makanan yang diberikannya atau kelinci dipaksa oleh ketakutannya untuk melarikan diri saat bahaya datang. Binatang-binatang tidak dipaksa untuk melakukan hal itu oleh suatu kekuatan luar atau suatu keharusan moral. Mereka dipaksa berbuat demikian oleh pengaruh yang menekan dari kecenderungan-kecenderungan mereka. Secara psikologis mereka tidak bebas.
Sebaliknya, manusia lapar dapat menahan diri untuk tidak makan, dan seorang prajurit yang ditakutkan oleh bom-bom mempunyai kesanggupan untuk tetap ada di posnya. Manusia secara psikologis bebas. Persis inilah kekhusussan manusia bahwa ia sudah mulai mengatasi segala macam pengaruh dan determinasi.
Secara khusus Lehay membahas kebebasan psikologis. Kebebasan psikologis disebutnya sebagai kebebasan untuk memilih, karena kebebasan itulah yang memungkinkan si subjek untuk memilih antara berbagai tindakan yang mungkin. Orang menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak, yang dapat berbuat atau tidak berbuat (kebebasan berbuat), atau berbuat dengan cara begini atau begitu (kebebasan spesifikasi). Setiap kali kebebasan kehendak manusia dibicarakan, kebebasan psikologis itulah yang dimaksudkan.  
3.2     Beberapa Pandangan tentang Kebebasan[6]
3.2.1 Pandangan yang Bertentangan
Dalam sejarah perkembangan filsafat, terdapat sejumlah pemikiran tentang kebebasan manusia. Pandangan yang umum mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas sekaligus terikat. Dua kebenaran ini saling bertentangan, maka para filsuf cenderung untuk menghapus salah satu dari dua keduanya. Hal ini terjadi dalam aliran yang disebut pan-determinisme. Segala (pan) kegiatan di dunia ini terjadi dalam suatu keharusan yang bersifat determinis. Ekstrem yang lain menolak segala keharusan. Bebas harus mutlak dan tanpa ikatan.
a)    Determinisme Total
Determinisme total atau pan-determinasi dimaksudkan sebagai aliran yang mengakui bahwa determinasi alam berlaku untuk segala kegiatan di dunia temasuk tindakan manusia. Aliran ini menyangkal kebebasan dan transendensi roh terhadap materi. Manusia tidak bebas karena segala kegiatan yang ada di dunia ini berjalan dengan suatu keharusan.
Ada pelbagai macam pan-determinisme. Determinisme fisik-biologis berlaku untuk dunia fisika-kimia dan dunia makhluk hidup yang nampak dalam hubungan aksi dan reaksi yang berjalan dengan suatu tujuan. Pan-determinisme yang lain adalah determinisme sosial. Faktor yang menentukan tidakan manusia ialah lingkungan sosial. Lingkungan dengan struktur bahasa dan struktur etnologis menentukan cara manusia berpikir dan bertindak. Ada juga determinisme psike. Dalam hal ini psike khususnya kesadaran bawah menentukan kelakuan manusia.
b)   Kebebasan Total
Menurut determinisme, semua yang ada di dunia ini berjalan dengan suatu keharusan, maka manusia tidak bebas dan tidak otonom. Ekstrem yang terbalik mengatakan bahwa justru otonomilah yang paling khas untuk manusia. Otonomi, menurut mereka, tidak mungkin berada di antara keharusan dan keterikatan. Otonomi menuntut adanya kebebasan yang total dan mutlak. Manusia tetap berada dalam status “indifference”, tidak terpaksa dan tanpa suatu keharusan baik kepada yang satu atau kepada yang lain. Sebab, segala keharusan bertentangan dengan kebebasan sejati.
Sartre sebagaimana dikutip oleh Konrad Kebung memandang kebebasan sebagai keterlepasan dari segala keharusan dan ikatan. Manusia harus menciptakan diri. Sartre mengatakan eksistensi mendahului esensi. Eksistensi yang dimaksudkan adalah kebebasan.[7]    
3.2.2 Dualime
Dualisme melihat determinisme dan kebebasan manusia sebagai dua kenyataan yang sama sekali asing satu sama lain. Aliran ini mempertahankan baik kebebasan maupun keharusan (determinisme), tetapi mengorbankan kesatuan. Determinisme berlaku bagi manusia sejauh jasmaniah, sedangkan kebebasan berlaku bagi manusia sejauh rohaniah.
3.2.3 Paradoks
Paradoks berbeda dari dualisme. Memang baik filsafat dualisme maupun filsafat paradoks mengakui bahwa dalam diri manusia ada roh dan materi, tetapi roh dan materi sama sekali tidak bertentangan dan asing satu sama lain. Meskipun dua dimensi berbeda, namun dualitas dihayati dalam kesatuan. Kesatuan merupakan suatu kenyataan yang dihayati di dalam diri manusia sendiri. Dalam kebebasan dihayati suatu orientasi kodrati yang menyatakan diri bagaikan suatu seruan yang mengikat secara etis. Paradoks tidak mengahapus kebebasan (determinisme total), tidak menghapus suatu keharusan (indeterminasi total), tidak menghapus kesatuan total. Filsafat bermaksud untuk membawa cahaya ke dalam penghayatan, tidak dengan menghapus hal yang nyata, tetapi dengan setia kepada penghayatan. Kuhayati dalam diriku suatu keharusan (“Jadilah diri yang sejati”) yang harus direalisir secara bebas. Semakin keharusan itu tercapai semakin kebebasan pilihan ikut terarah menuju diri yang sejati.    
3.3     Hakikat Manusia dan Kebebasan
Manusia sudah mulai mampu mengatasi segala macam pengaruh dan determinasi. Namun, ia masih kurang bebas pula sebab dalam banyak hal masih terpaksa bertindak secara tertentu. Ini bukan hanya kebetulan saja, melainkan termuat di dalam hakikatnya sendiri, yang juga selalu mengandung ketidaksempurnaan.
Walaupun bebas manusia terikat dengan keharusan. Ia mau tak mau menerima keharusan. Manusia menemukan diri sebagai fakta yang tidak dapat diubahkan atau dengan struktur tertentu. Ia merupakan badan yang menjiwa, yang berkegiatan secara tertentu sebagai manusia. Ia meng-aku, berkembang secara terus menerus dan tidak bisa tidak berkegiatan. Jadi, manusia tertimpa oleh keniscayaan kodrati yang termuat dalam hakikatnya. Ia sudah menemukan dirinya sebagai manusia dan tak dapat lain. Ia tidak ‘bebas’ untuk menerima atau menolak hakikatnya sebagai manusia. Bahkan, ia harus menjadi dirinya sendiri, dan tidak dapat lain dari pada meng-aku.[8]
Namun, keharusan dan kebebasan manusia memiliki kesatuan dan saling memuat. Oleh karena meng-aku, manusia (aku) berada. Pengakuan diri itu terjadi dengan keniscayaan yang mutlak. Mau tidak mau ia mengakui diri sendiri, dan tidak bisa tidak mengamininya. Ia terpaksa bebas dalam artian ‘ia tidak bebas untuk bebas atau tidak’, ‘ia harus bebas’. Hakikatnya sendiri memang diberikan sebagai data, tetapi bukan sebagai bejana yang sudah jelas. Manusia dengan bebas menyusun kaharusannya, dengan sadar ia mendirikan keterpaksaannya. Manusia mengharuskan dirinya secara pribadi. Dengan demikian, manusia membuat hakikatnya sendiri.[9]
3.4     Ketiga jenis kegiatan bebas[10]
Kecenderungan dominan bukanlah suatu kecenderungan yang mendeterminasi. Meskipun kecenderungan itu menimbulkan suatu pengaruh yang kuat atas kegiatan-kegiatan dari seseorang, namun ia tidak pernah dapat memaksa orang itu untuk mengikutinya. Kecenderungan itu sendiri, sebagaimana dikehendaki dan dijalankan  secara bebas, demikian juga ia bisa dibantah tiap-tiap saat, bahkan dibinasakan secara bebas. Oleh karena itu orang dapat memebedakan tiga kategori fundamental dari kegiatan bebas.
               Kategori pertama adalah yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan dominan; ia mewujud secara konkret, gaya hidup yang telah dipilih oleh seseorang secara bertahap. Sejauh kecenderungan itu membesar, kegiatan-kegiatan itu menjadi lebih mudah setapak, sehingga kadang-kadang kegiatan-kegiatan itu kelihatan dilaksanakan secara instingtif dan otomatis.
               Kategori kedua,  kegiatan bebas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan  yang dilakukan orang kontra kecenderungan dominan. Orang-orang yang biasanya mengikuti kecenderungan-kecenderungan egoism mereka kadang-kadang melakukan kebaikan dan kebajikan dan sebaliknya orang-orang yang berusaha  berjalan dalam arah kebaikan moral kadang menyeleweng dari ideal mereka. Penyelewengan-penyelewengan  dari garis pokok dalam kehidupan seseorang menunjukkan bahwa kepribadian belum  dipersatukan secara total oleh ideal yang dominan. Namun idealnya masih tetap, tidak diragukan, diikuti dan dihormati.
               Kategori ketiga, adanya pemisahan total dari kecenderungan  dominan itu. Orang meninggalkan garis kelakuannya yang biasa, dan mengubah orientasi fundamental kehidupannya.
3.5     Dua Macam Kebebasan
               Kebebasan memiliki banyak arti tergantung konteks dimana kebebasan itu digunakan sebagai term yang mendukung suatu pernyataan atau juga menjatuhkan pernyataan tersebut. oleh karena itu kebebasan dapat diterjemahkan menurut macamnya yang mungkin sesuai dengan konteks kata kebebasan itu digunakan. Kebebasan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kebebasan puluhan dan kebebasan sejati. Berikut dua macam kebebasan tersebut,
·            Kebebasan Pilihan[11]
Dengan “kebebasan pilihan” dimaksud bahwa manusia bebas untuk memilih antara ini atau itu, untuk bertindak atau tidak. Kehendak sendiri harus menentukan. Tidak ada apaun di laur kehendak yang menentukan, tidak ada paksaan. Inti dari kebebasan pilihan yakni kehendak pribadi tanpa doronga atau intimidasi dari luar diri seseorang, karena itu dengan bebas memilih sendiri.
·            Kebebasan Sejati sebagai panggilan[12]
Kebebasan sejati  atau kebebasan kodrati tertuang dalam ungkapan “kemerdekaan harus dimerdekakan”.  Aku dipanggil untuk semakin bebas dari segala penghalang untuk menuju diriku yang sejati. Arah puluhan saya semakin sejalan dengan panggilan saya sebagai manusia. Namun seperti yang telah dijelaskan adanya “penghalang itu yang menyebabkan manusia terpaksa memilih karena ia kurang tahu pilihan yang terbagik bagi dirinya. Unsur egisme merupakan salah astu penghalang manusia untuk menuju pada kebaikan sejati.
                  Kebebasan sejati  dieralisasikan memalui kebebasan pilihan. Semakin manusia dengan suatu ketetapan terarah pada kebaikannya yang sejati, maka kebebasan pilihan  semakin kurang berfungsi. Namun pertentangan antara kebebasan puluhan dan kebebasan sejati merupakan hal yang khas untuk manusia. Paradoks berhubugnan dengan hakikat kebebasan manusia. Keharusan (kodrati) hadir dalam kebebasan (pilihan).
Oleh karena itu, hakikat kebebasan  bukanlah “bebas untuk memilih”, melainkan penentuan diri (self determination).
3.6     Perkembangan Arah Kebebasan[13]
3.6.1. Meramalkan Masa Depan
               Setiap putusan –pilihan baru berlandasan semua pertemuan dan situasi sejauh telah dibangun, diamini, atau ditolak sampai sekarang sehingga mendapat latar belakang yang lebih kaya. Jadi, hasil putusan-pilihan konkret samapi sekarang telah meramalkan masa depan. Misalnya kebebasan dalam hal memilih sekolah, kalau kawin, dan juga kalau ingin memilih pekerjaan.
3.6.2. Kontinuitas Arah
               Kebebasan manusia berkembang dengan perkembangan keterlibatan dengan yang-lain. Endapan masa lampau makin memberikan arah dan impak structural sehingga subjek makin melibatkan diri dengan objek-partner- situasi tertentu, dengan cara tertentu, dengan intensitas dan perhatian tertentu.
               Kedewasaan kebebasan  bukan terletak pada sikap plin-plan, sikap tidak konsekuen, tidak konstan, sikap fragmentaris dan momentan, yang liar yang tidak dapat diramalkan, yang tanpa arah. Justru yang ditekankan adalah kedewasaan dalam memilih sesuai dengan putusan-putusan yang telah dibuat demi kebaikan.
3.6.3. Indifference
               Indifference sebagai langkah berikutnya mustahil menjadi inti kebebasan. Dalam indifference manusia dapat menghadapai lanjutan pengambilan posisi, tanpa ‘prasangka’ apa pun. Semua proyek berikutnya dapat dihadapi dengna keterbukaan total, atau dapat dibandingkan benar-baiknya dengan suatu patokan mutlak; kemudia ditentukan dengan soverignity (kekuasan) penuh. Pada saat ini subjek dapat bertindak tepat sebaliknya daripada yang dilaksanakannya sekarang. Ini juga alasan pokok dari para indeterminis: klaau manusia pikir kembali, maka di dalam situasi dulu dennga motif-motifnya pada waktu itu, manusia sebetlnya juga dapat bertindak secara lain dan memilih obje-motif lain.
3.6.4 Puncak Kebebasan
Kebebasa. justru kurang sempurna jikalau belum cukup dideterminasi oleh masa lampau. Belum dewasa kalau belum cukup terarah, kalau belum sukup menetap diri pada tujuan dan mengikat diri pada cita-cita. Kebebasan itu melum cukup jelas mengartikan dan menghargakan diri dan yang lain; masih kabur, masih ‘bebas’ dalam arti negative terhadap dirinya dan yang lain.
               Kebebasan yang benar itu suatu dinamik kontinu; ketertujuan makin mencolok dan meruncing. Manusia itu makin senang pada arah putusan- pilihannya. Ia makin stalib dan dapt diramakan apa yang akan dibuat.

IV.    KETERARAHAN PADA KEBAIKAN SEJATI
Pada bagian ini dicantumkan dan dijelaskan tentang motivasi rasional dan kebaikan sejati, dan seruan kepada manusia untuk menjadi diri sejati. Beberapa pokok ini dirasa penting ketika membicarakan kehendak dan kebebasan pada manusia. Uraian mengenai pokok-pokok penting tersebut diadaptasi kelompok dari buku Antropologi Filsafat Manusia karya Albert Snidjers.[14]
4.1     Motivasi Rasional dan Kebaikan Sejati
Pengetahuan manusia bersifat rasional. Tindakannya didahului oleh suatu pertimbangan yang bersifat rasional. Tindakan yang bersifat rasional inilah yang disebut motivasi rasional atau dorongan untuk bertindak atas dasar pertimbangan budi. Sementara tindakan itu sendiri berkaitan dengan kehendak manusia.
Kehendak (appetites naturalis) yaitu hasrat rasional dibedakan dari appetites sensitivus, hasrat indrawi. Kehendak hanya bergerak kalu diperlihatkan kepadanya suatu kebaikan, tetapi tidak semua baik. Manusia bisa salah dan berdosa. Seorang pencuri tertarik oleh suatu kebaikan, namun pada saat itu juga ia tahu bahwa ia melakukan hal yang objektif jahat yaitu mencuribarang milik orang lain. sesuatu yang jahat dinilai oleh pencuri sebagai kebaikan karena ia dikuasai oleh nafsu memilki yang tak teratur dan tidak rasional. Tindakan manusia baru dapat pengetahuan bersifat benar dan sesuai dengan kenyataan. Karena itu, tidak semua kegiatan sungguh disebut baik kalau terarah pada yang sejati dan ia taat pada kebaikannya itu. Dalam hal ini, tindakan perlu dipertanggungjawabkan secara rasional. Kebaikan diperlihatkan oleh budi sebagai kebaikan yang objektif dan rasional. Kebaikan yang demikianlah yang disebut sebagai kebaikan sejati yang kepadanya manusia secara bebas terarah.  
4.2     Seruan Menjadi Diri Sejati
Kehendak manusia tidak bergerak kalau tidak ditarik oleh suatu kebaikan. Kebaikan sebagai sesuatu yang umum dan tak terbatas tidak pernah ditemukan dalam kenyataan konkret. Hal yang konkret ‘ini’ atau ‘itu’ tetap terbatas, dan keterbatasannya tetap diketahui dalam cahaya kebaikan yang tak terbatas. Berhadapan dengan hal yang terbatas selalu dapat dipertimbangkan pro dan kontra dan manusia tetap bebas untuk mengatakan “ya” atau “tidak”. Manusia memiliki kebebasan pilihan yaitu kebebasan untuk memilih dan manusia juga bebas terhadap sesuatu yang terbatas.
Meskipun manusia bebas terhadap hal yang terbatas, namun di dalam kebebasan pilihan juga hadir suatu keharusan. Aku mempunyai kewajiban menuju (menghendaki) kebaikan sejati. Keharusan itu bukan determinisme. Untuk keharusan yang bersifat deterministis, aksi dan reaksi bersifat pasif dan berjalan dengan suatu tujuan. Lain halnya dengan manusia. Keharusan di dalam kehendak direalisasikan secara bebas. Keharusan etis menyatakan dirinya padaku sebagai suatu imperatif kategoris, bukan hipotetis. Suatu imperatif hipotetis berdasar pada suatu syarat. Kalau Anda ingin pandai bahasa Inggris, Anda harus belajar. Pandai dalam bahasa Inggris bukan kewajiban mutlak. Imperatif kategoris bersifat mutlak dan berdasr pada kodrat diri manusia sendiri. Keharusan kategoris mengharuskan secara mutlak, tetapi tidak terlaksana secara paksa. Ia terlaksan secara bebas. Keharusan kodrati dihayati sebagai imperatif kategoris. Hubungan mereka lebih dihayati sebagai suatu seruan yang mengharapkan jawaban. Seruan tidak dapat ditawar-tawar, tetapi bersifat kategoris dan mewajibkan secara etis.
Keharusan kodrati secara analog ditemukan pada alam, tumbuhan, dan hewan. Manusia pun seperti segala makhluk yang lain tidak bebas untuk menentukan arah keharusan kodratinya. Namun, pelaksanaannya bukan dengan suatu keharusan yang bersifat deterministis. Kewajiban diketahui dan dilaksanakan dengan bebas. Manusia tetap dapat bertindak bertentangan dengan kewajibannya. Keharusan kodrati mendorong manusia pada diri sejati yaitu kebaikan sejati, tetapi tidak memaksa. Arah kodrati bukan dari saya (manusia) dan dihayati sebagai suatu seruan. Arahnya satu saja, sama seperti bunga mawar secara kodrati terarah pada diri yang indah. Bunga mawar menuju diri secara deterministis, tidak ada pengetahuan, tidak ada kemauan (kehendak), dan tidak ada kebebasan. Sebaliknya, manusia merealisasikan keharusan kodrati menuju diri yang sejati (kebaikan sejati) secara bebas. Manusia tahu tentang kemungkinan-kemungkinanyang terbuka dan ia harus memilih. Imperaratif kategoris hanya mengatakan ‘arahkan dirimu pada kebaikan sejati’ atau dalam rumusan lain “jadilah diri yang sejati”. Selebihnya, manusialah yang mepertimbangkan dan mengambil keputusan secara bebas untuk menghendakinya atau meletakkan kehendaknya pada yang lain.

V.  PENUTUP
 Seluruh pembahasan dalam tulisan ini bermuara pada kesimpulan bahwa manusia adalah makkhluk yang berkehendak dan memiliki kebebasan. Secara kodrati dan dalam tuntunan akal budi kehendak manusia itu terarah  pada diri sejati yang adalah kebaikan sejati. Keterarahan kodrati pada diri sejati pada manusia itu berisfat aktif dan pelaksanaanya bersumber pada dirinya sendiri. Manusia dapat meneyeleweng, tetapi menjadi diri sejati merupakan keharusan yang bersifat mewajibkan secara etis. Keterarahan kodrati bukan dari diri manusia, tetapi manusia harus menaatinya. Sementara itu, kebebasan manusia muncul dalam pilihan yang berasal dari dalam dirinya untuk menentukan (a self determination) jawaban “ya’ atau “tidak” secara bebas terhadap keterarahan kodrati tersebut



[1]Konrad Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hlm. 100.
[2]Louis Lehay, Siapakah Manusia? (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 175.
[3] Ibid.
[4]Albert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 126.  
[5]Louis Lehay, op. cit., hlm. 182.
[6]Albert Snijders, op. cit., hlm. 117-122.
[7]Konrad Kebung, op. cit., hlm. 92.
[8]Anton Baker, Antropologi Metafisik (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 217
[9]Ibid., hlm. 218.
                [10]Louis Lehay, op. cit., hlm. 201-202.
[11]  Albert Snijders, op. cit, hlm. 129.
                [12]  Ibid, hlm. 130.
[13] Anton Baker, op. cit., hlm. 242-245.
[14]Albert Snijders, op. cit, hlm. 127-128.  

Rabu, 18 Mei 2016

Teater Tanya : Suara Kami belum Pensiun






























KONSEP MANUSIA MENURUT KARL MARX: Manusia Merupakan Masa Depan bagi Manusia

KONSEP MANUSIA MENURUT KARL MARX:
Manusia Merupakan Masa Depan bagi Manusia[1]

A.    PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk yang tidak bisa dipahami secara utuh luar-dalam, lahir-batin. Manusia sebagai persona pada hakikatnya merupakan makhluk yang tidak dapat dipahami secara menyeluruh. Yang kita pahami dan yang kita kenal hanya sebagian saja yang berada dan tampak diluar. Sedangkan kepribadiannya secara menyeluruh yang tidak tampak dan/atau tidak kelihatan secara kasap mata sangat sulit bahkan mungkin tidak bisa kenali dan tidak bisa dipahami. Berdasar pada hal ini, maka menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita akan siapa itu manusia dengan segalah atribut yang melekat pada dan/atau dalam dirinya sebagai pribadi. Dilain pihak mennjaadi suatu topik diskursus yang krusial diantara kalangan para pakar atau filsuf baik klasik maupun modern.
Kemudian dari sekian banyak para filsuf yang mendiskusikan dan menyampaikan pemikirannya tentang hal ini, muncul beberapa filsuf yang terkenal dengan pandangannya tentang manusia, siapa dan seperti apa manusia itu. Sebut saja Marx, dengan pandangannya tentang manusia yang mempengaruhi banyak pemikiran kemudian. Marx secara gamblang dan tegas mengedepankan pendangan materialisme historikal dimana dia menjelaskan pandangannya tentang manusia yang materialis namun dalam konsepnya bahwa manusia yang tergantung pada alam untuk hidup yakni manusia menari seturut irama alam dan kemudian berkembang menjadi manusia yang bisa mengkonstruksikan alam untuk menari seturut irama yang ditentukan manusia. Manusia berkembang dan tidak lagi terjebak pada pola yang tergantung pada alam dunia melainkan membuat suatu yang membuat alam serasa tergantung pada keberadaan manusia.
Setiap makhluk hidup yang hidup dari lingkungannya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat dia berrgantung.dan seperti semua makhluk hidup lainnya, manusia pun tergantung pada lingkungannya. Dengan kata lain kendati kita begitu percaya pada martabat khusus manusia, kita juga harus mengakui bahwa dalam hal ini pada manusia tidak ada pengecualian. Namun, hal ini tidak lantas membuat kita secara dangkal menyamakan manusia dengan hewan. Manusia tetap memiliki kelasnya sendiri. Manusia adalah human karena uniknya cara mereka bergantung pada lingkungannya. Dari semua ciptaan yang hidup, kendati bergantung pada lingkungan, hanya manusia sendiri yang dapat membuat lingkungannya juga bergantung pada kehadiran mereka.
Materialisme Marx
            Marx adalah seorang materialis, tetapi beliau bukan satu-satunya seorang materialisme, Skinner juga merupakan seorang materialis. Menarik bahwa Marx juga menerima gagasan Skiner bahwa tidak ada perbedaan fundamental antara manusia dan hewan. Marx memandang hal ini melalui caranya semdiri.
            Manusia hidup tergantung dari lingkungan demi kehidupannya sendiri. Dengan kata lain jika tidak ada udara, air, dan makanan maka kita tidak akan bisa hidup. Secara mutlak dari kelahira hingga kematian manusia sudah bergntung pada pada lingkungan demi pemenuhan serta pemuasan kebutuhan.

B.     KEUNIKAN MANUSIA
            Diantara semua organisme yang hidup, kendati tergantung pada lingkungan, hanya manusia sendiri yang mampu menjadikan lingkungannya tergantung pada mereka. Setiap mahluk yang hidup dari lingkungannya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia bergantung. Misalnya kalau air di sungai kering maka ikan-ikan akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan tanpa air.
            Jika ada perubahan mendadak dan penting dalam lingkungan yang mengacaukan keseimbangan antara spesies tertentu dengan lingkungan, satu-satunya cara adalah dengan imigrasi. Hal ini sama juga dengan manusia misalnya terjadi kebakaran maka manusia akan lari berlindung atau mencari tempat yang lebih aman dan nyaman.
            Akan tetapi manusia mampu menyelesaikan ketergantungan mereka terhadap lingkungan dengan cara yang jauh melampaui hewan. Manusia mulai bekerjadan dengan bekerja mereka telah menciptakan lingkungan spesifik mereka, suatu pekerjaan yang jauh melampaui pekerjaan binatang.

C.    MANUSIA : SPESIES YANG BEKERJA
            Lebah membangun sarang, burung membangun sarang, dan semutpun membangun sarangnya sendiri. Manusia membangun rmah, pabrik, kantor, jembatan, dermaga dan juga mengkonstruksikan mesin yang dapat membantunya dalam kehidupan setiap hari. Tiap spesies binatang tampaknya sangat baik dalam hal atau soalnya sendiri, dan sama sekali tidak mampu dalam hal-hal yang lain, padahal manusia bisa menguasai banyak hal.
            Menurut Marx, pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar. Dalam pekerjaan, manusia membuat dirinya menjadi nyata. Kerja adalah salah satu ciri yang membedakan manusia dari makhluk-ciptaan lainnya, yang kegiatannya untuk melestarikan hidupnya tidak dapat disebut kerja.

1. Pekerjaan, Kegiatan Khas Manusia.
Manusia adalah makhluk ganda yang menarik. Di satu pihak ia adalah “makhluk alami” seperti binatang—ia membutuhkan alam untuk hidup. Di lain pihak ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing—ia harus terlebih dahulu menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya. Manusia bekerja secara bebas dan universal. Bebas, karena ia dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung. Universal, karena di satu pihak ia dapat memakai pelbagai cara untuk tujuan yang sama, di lain pihak ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhannya.
2. Pekerjaan sebagai Obyektivasi Manusia
Bekerja berarti bahwa manusia memberikan bentuknya sendiri dari obyek alami. Melalui pekerjaan itu, manusia mengobyektivasikan dirinya ke dalam alam. Bakat dan kemampuannya tidak tinggal dalam anagan-angannya, melainkan telah menjadi obyek yang nyata. Manusia dapat melihat dirinya di dalam pekerjaannya. Kerja menjadi cerminan hakekat manusia.
Manusia tidak bekerja sendirian. Kebutuhan-kebutuhannya dapat ia penuhi melalui hasil pekerjaan orang lain. Begitu pula hasil pekerjaan kita pun berguna untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Penerimaan dan penghargaan orang lain terhadap hasil kerja kita, membuat kita merasa diakui. Kita merasa berarti karena tahu bahwa kita mampu memenuhi kebutuhan orang lain. Pekerjaan menjadi sesuatu yang menggembirakan karena orang lain menerima dan menghormati hasil pekerjaan kita. Di situ tampak bahwa manusia pada hakekatnya bersifat sosial, dan hakekat itu nyata di dalam pekerjaan. Melalui pekerjaan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial.
Kerja memiliki dimensi historis. Alam, tradisi-tradisi pengetahuan manusia, ilmu pengetahuan, alat-alat kerja, dunia kita dan segala isinya bukanlah sesuatu yang ada begitu saja, melainkan warisan hasil pekerjaan generasi-generasi sebelumnya. Dunia kita dan segala isisnya merupakan produk sejarah.
3. Keterasingan dalam Pekerjaan[1]
Karena pekerjaan merupakan sarana perealisasian diri manusia, maka seharusnya bekerja memberikan kepuasan dan kegembiraan. Namun dalam kenyataannya, khususnya bagi para buruh dalam sistem kapitalis, pekerjaan justru mengasingkan mereka. Dalam sistem kapitalis, pekerjaan dilakukan secara terpaksa. Di dalam pekerjaan itu manusia tidak berkembang dan semakin terasing dari dirinya sendiri dan orang lain.
·         Terasing dari dirinya sendiri
Keterasingan dari dirinya sendiri mempunyai tiga sisi. Pertama, si pekerja menjadi terasing dari produknya. Pekerja tidak memiliki hasil pekerjaannya. Produknya adalah milik pemilik pabrik. Dengan begitu, yang dikerjakannya tak ada artinya bagi dirinya. Kedua, karena produk pekerjaan terasing darinya, tindakan bekerja itu sendiri pun kehilangan arti bagi si pekerja. Di dalam pekerjaannya, manusia tidak dapat mewujudkan hakekatnya sebagai manusia bebas dan universal. Ia bekerja karena terpaksa, demi bertahan hidup. Di situ ia mengalami keterasingan dari pekerjaannya. Ketiga, bekerja adalah tindakan hakiki manusia. Di dalam pekerjaan yang dijalankan secara terpaksa, semata-mata demi mencari nafkah, manusia memperalat dirinya. Bekerja bukan lagi untuk mengembangkan diri atau merealisasikan bakat dan kemampuan, melainkan untuk bertahan hidup. Ia tidak lagi bebas karena bekerja atas dasar paksaan majikan, dan pekerjaannya tidak lagi universal, karena melulu terarah pada pemenuhan fisik dalam hidup sehari-hari.
·         Terasing dari orang lain
Terasing dari hakekat dirinya berarti juga manusia terasing dari sifat sosialnya. Ia terasing dari sesamanya. Di dalam keterasingan dari sesama terdapat kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Pertama, terjadi perbedaan kelas antara kelas pekerja dan kelas pemilik. Kedua kelas ini saling bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut bukanlah pertentangan emosional tidak saling menyukai, melainkan pertentangan kepentingan. Kelas pemilik menginginkan keuntungan setinggi-tingginya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya (biaya produksi, upah buruh dan fasilitas pekerja seminimal mungkin). Sedangkan para buruh menginginkan upah setinggi mungkin dengan jaminan fasilitas kerja yang optimal. Dengan demikian kelas pekerja dan kelas pemilik terasing satu sama lain. Kedua, selain pertentangan antar-kelas secara vertikal, terjadi pula pertentangan kepentingan secara horizontal: antara sesama buruh atau antara sesama pemilik modal. Para buruh berebut tempat kerja, sementara para pemilik berebut pasar.
Keterasingan dari orang lain terlihat dalam fakta bahwa saya menjadi orang yang sepenuhnya egois. Saya hanya akan memenuhi kebutuhan orang lain, sejauh itu memberi keuntungan pada saya. Manusia menjadi terasing dari hakekatnya sebagai makhluk sosial. Manusia bertindak bukan demi sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, melainkan melulu demi keuntungan diriku. Sesuatu yang disebut sebagai ”keuntungan” itu secara konkret adalah uang. Uang menandakan keterasingan manusia dai alam dan sesamanya. Di dunia kapitalisme, misalnya orang meninati sawah bukan karena keindahan sawah yang luas dan padi yang menguning, melainkan sebagai tempat penanaman modal atau tempat untuk memperluas wilayah pabrik. Yang penting nilai uangnya dan bukan alam itu sendiri.
4. Hak Milik Pribadi
Menurut Marx, sistem hak milik pribadi merugikan kaum pekerja. Dengan adanya sistem hak milik, majikan memonopoli kesempatan kerja. Majikan hidup dari penghisapan tenaga kerja buruh, sedangkan buruh harus menyangkal diri dan memperbudak diri pada majikan. Majikan sendiri mengalami keterasingan dari hakikatnya. Pengembangan dirinya mandeg. Ia hanya secara pasif menikmati hasil kerja orang lain, padahal nikmat pasif saja tidak mengembangkan manusia. Sistem hak milik pribadi mengasingkan baik pemilik maupun pekerja dari dirinya sendiri: pemilik terasing dari pekerjaan dan pekerja tidak berkembang dalam dirinya. Pada akhirnya, penyebab segala keterasingan manusia adalah penataan produksi menurut sistem hak milik pribadi.
Marx menjelaskan bahwa sistem hak milik pribadi tidak boleh dinilai semata-mata negatif. Hak milik pribadi adalah akibat yang tidak dapat dihindari dalam sejarah. Dalam sejarah, umat manusia mengalami tiga tahap perkembangan: (1)tahap masyarakat purba, sebelum ada pembagian kerja atau semua dilakukan bersama-sama. (2)tahap pembagian kerja sekaligus tajap hak milik pribadi dan tahap keterasingan. (3)tahap kebebasan, yaitu apabila hak milik pribadi sudah dihapus. Hak milik pribadi memacu manusia untuk terus-menerus mengembangkan kebudayaannya. Misalnya, kelas atas yang memaksa bahkan menindas rakyat untuk membangun jalan raya Anyer-Panarukan, Kaisar yang menindas rakyat untuk membangun tembok pertahanan raksasa di Cina, dan sebagainya. Itu semua demi kebutuhan-kebutuhan jangka panjang.
Menurut Marx, komunisme adalah solusi atas masalah keterasingan manusia dengan alam dan dengan sesamanya. Komunisme memampukan manusia untuk merealisasikan diri secara bebas dan universal.


D.    MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL
Sebagai seorang materialis, Marx melihat kodrat material manusia dan ketergantungannya pada lingkungan untuk hidup sebagai faktum fundamental. Marx menyadari bahwa spesies manusia adalah sungguh suatu spesies sosial. Jika Sartre melihat manusia sebagai individu yang self-sufficient,yang secara utuh bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, Marx tidak mengakuinya dan menganggapnya nonsense dan tanpa isi sebab menurutnya manusia yang mempunyai kodrat material selalu hidup dengan manusia lain dan bergantung pada lingkungan.
Lihatlah di sekitar Anda. Ada rumah di mana-mana dengan aliran listrik dan pelbagai alat pemnas dan pendingin. Ada mobil, bu, kereta, pesawat terbang, truk; ada pertokoan yang penuh dengan persediaan barang dan makanan; ada rumah sakit, sekolah, industri dan pabrik. Singkatnya, hidup kita jauh dari gua-gua, seperti para nenek moyang kita dulu, dan memang sudah sangat berbeda. Lalu, siapa yang mentransformasikan lingkungan demikian kepada kita? Siapa yangmembuatnya? Jelas, ini bukan hanya satu orang. Ini terjadi berkat kerja sama semua nenek moyang kita, berkat kerja sama banyak orang. Seluruh hasil muncul dari kombinasi organik dari usaha anggota-anggota masyarakat, sama seperti pertumbuhan seluruh organisme yang kompleks muncul dari aktivitas sel-sel secara terpadu. Ini adalah kerja sejumlah manusia secara integral, bukannya individu-individu yang terpisah dan tak berhubungan. Ini adalah suatu prestasi sosial.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika spesies manusia bukan spesies sosial yang mampu bekerja secara terpadu, kita pasti masih tetap tinggal dalam gua dan ditentukan untuk tetap tinggal di sana sampai kekal. Sebaliknya, jika masing-masing kita harus menghasilkan dan mengatur segala sesuatu secara sendirian, kita juga mungkin bisa kembali lagi ke dalam gua. Jadi aspek pertama yang paling penting dari sosialitas manusia adalah bahwa kita menghasilkan secara sosial, bukan secara individual, bekerja pada level kelompok dan kebersamaan bukan perorangan. Marx menyadari tanggung jawab sosial yang mutlak perlu atas lingkugan dari spesies yang secara esensial adalah makhluk sosial.


                                                                                                                       
E.     MATERIALISME HISTORIS: BANGKITNYA MANUSIA
            Kata “materialisme” dalam pemikiran Marx ini bukan dalam arti ontologis, yakni pemikiran yang memandang kenyataan sesungguhnya adalah materi. Pandangan materialismenya ini lebih mengarah pada pengertian bahwa bukan pikiran melainkan kerja sosial (ekonomi) yang menjadi basis atau kegiatan dasar manusia. Kata ”historis” mengacu pada pengertian bahwa sejaran manusia berjalan melalui proses dialektis dan menuju ke tujuan atau telos tertentu. Proses dialektis itu terjadi di dalam perjuangan kelas dan tujuannya adalah mewujukan kebebasan.[2]
Text Box: Lingkungan (1)Text Box: Lingkungan (2)Text Box:  Lingkungan (3)Text Box: GUA-GUAText Box: KAPITALISMEText Box: KOMUNISME            Teori Marx tentang kodrat manusia dapat dilihat sebagai semacam sintesis antara materialisme dan kebebasan. Berikut merupakan diagram pandangan Marx mengenai sejarah manusia yang berarah menuju kepada kebebasan.
Text Box: Manusia (3)
Bebas


Text Box: Manusia (2)
Teralienasi


Text Box: Manusia (1) 
Pada level yang sama
Seperti binatabg




Diagram di atas dibaca dari sudut kanan bawah. Lingkungan (1) mewakili lingkungan asli manusia yang belum ditransformasikan; manusia masih tinggal di dalam gua-gua. Untuk segala macam tujuan praktis Manusia (1) hidup dalam level yang sama dengan binatang. Mereka masih tergantung secara utuh pada lingkungan seperti juga binatang. Manusia (1) sebagai makhluk material masih bergantung pada alam sama seperti binatang lainnya. Meski demikian, materialisme yang dikonsepkan oleh Marx adalah historis, yaitu bahwa manusia mengandung perkembangan yang menyetir dirinya sendiri menuju kebebasan dengan mentransformasikan lingkungan di mana ia bergantung. Kemudian, Garis bergerak dari Manusia (1) menuju Lingkungan (2). Garis ini menghadirkan revolusi dengan mentranformasi lingkungannya melalui praksis manusia, yaitu kerja sosial. Hasil dari revolusi ini adalah tahap kapitalisme di mana lingkungan sudah ditranformasi dan dibentuk menurut kebutuhan manusia.
Pada tahap kedua ini, manusia telah meninggalkan semua spesies hewan. Pada level Lingkungan (2) manusia tidak dapat mengungkapakan identitasnya yang benar, identitas manusiawi dan individual. Ia tidak bisa memilih menjadi apakan ia nanti, dan tidak dapat berhubungan dengan manusia lain sebagai manusia. Manusia mengalami alienasi dan belum menjadi manusia bebas yang disebabkan oleh kapitalisme.
Materialisme Marx bersifat historis. Manusia menyetir evolusinya sendiri. Jika manusia bisa bebas dari gua-gua atau keterikatan pada lingkungan natural, dia pun pasti dapat melepaskan diri dari alienasi oleh sebab kapitalisme. Pembebasan dari kapitalisme hanya akan dapat diperoleh melalui revolusi oleh kaum proletariat. Revolusi ini terjadi karena kontradiksi internal sistem produksi kapitalistik karena produksi kapitalistik semakin tidak terjual akoibat tak terbeli oleh kaum buruh yang sangat membutuhkan produk-produk tersebut.[3] Revolusi ini digambarkan melalui garis diagonal dari Manusia (2) kepada Lingkungan (3).
Level ketiga ini merupakan langkah terakhir dari evolusi manusia. Lingkungan (3) menghadirkan suatu lingkungan natural yang dibentuk oleh manusia menurut kebutuhannya sendiri seperti lingkungan natural dalam kapitalisme tetapi grup manusia memiliki struktur komunis. Setiap anggota grup memberi sumbangan menurut kemampuannya dan menerima menurut kebutuhannya. Manusia (3) mengalami kebebasan. Ini merupakan perjalanan terakhir materialisme historis Marx.
           
F.      ALIENASI SEBAGAI AKIBAT DARI SISTEM KAPITALISME DALAM PERKEMBANGAN MANUSIA
Pada tahap ini, hal pertama yang harus dipahami ialah bagaimana Marx melihat kapitalisme dalam perkembangan manusia yang pada awalnya hidup dalam gua dan bergantung mutlak pada alam menujuh manusia yang tinggal pada dunia modern dimana secara jelas memperlihatkan bagaimana manusia membuat lingkungan bergantung juga pada kehadiran dan keberadaan manusia dan tindakannya. Perubahan ini sangat diperhatikan dan menjadi bagian yang dikaji secara khusus oleh Marx.
Terdapat kesan bahwa ada lompatan yang sangat jauh dan drastis ketika berbicara tentang manusia pada awalnya yang hidup dalam gua-gua sederhana lalu kemudian muncul pada sebuah dunia perkotaan yang modern dengan segalah perlengkapan produksi, gedung-gedung tinggi, jalan raya yang besar dan perputaran ekonomi yang begitu dahsyat dan semua sarana yang lengkap tersediah bagi manusia yang sedianya siap untuk digunakan.  Ada lompatan pula dalam hal yang berkaitan dengan sebuah pola yakni pembagian kerja. Pada masyarakat manusia yang hidup dalam gua-gua sederhana, pembagian kerja tidak begitu komplit dan banyak karena memang mereka betul tergantung pada keadaan alam dunia yang berlimpah dan ketika alam tidak mendukung kehidupan mereka lagi, mereka kemudian akan berpindah dan mencari tempat lain yang mendukung kehidupan mereka.
Hal yang berbeda sekali dengan masa sebelum manusia mulai bekerja dan mengolah untuk hidup,  dengan manusia modern dengan pembagian kerja yang banyak dan komplit sebab pada hakekatnya, manusia hanya dapat menentukan dirinya dengan kerja dan produksi. Marx menekankan bahwa manusia hanya dapat hidup jika dia produktif, menguasai dirinya dengan tindakan yang mengekspresikan kekuasaan manusiawinya yang khusus. Ekspresi manusia ini akan teraktualisasi dalam kerja. Untuk mengekspresikan dirinya, manusia butuh kenerdekaan dan kebebasan yang didasarkan pada prilaku menciptakan diri. Ekspresi manusia dalam bentuk kerja dan pembagian kerja inilah yang kemudian menciptakan sebuah kahidupan baru yakni sistem produksi yang menempatkan manusia pada dua posisi yakni pada posisi proletar dan pada posisi borjuis atau orang yang memilikiu sarana produksi. Disinilah ujung dimana  kapitalisme mulai berkembang dan mulai membagi-bagikan manusia menurut kurang lebih dua kelas sosial seperti yang sudah dikatakakn diatas. Kapitalisme sendiri berarti pada sistem pembagian kerja dalam produksi dimana ada orang yang memiliki perangkat untuk produksi dan ada yang dipekerjakan.
Alienasi sendiri berarti pemisahan atau keterpisahan dalam arti yang mendalam. Seorang yang mengalami pemisahan ini dalam arti yang asli adalah orang yang terpisah dari diri dan akalnya sendiri. Orang yang kehilangan akalnya atau dapat saja dikatakan tidak waras lagi. Istilah ini secara sengaja diadopsi oleh Marx utnuk menggambarkan perpecahan internal manusiawi yang telah diderita oleh anggota masyarakat kapitalistis. Yakni orang yang rusak, terpisah dari identitas personal mereka dan terpisah dari kemanusiaan mereka sendiri sebagai harga yang harus mereka bayar dibawah sistem produksi kapitalistis yang mereka kembangkan.
Menurut Marx, kapitalisme adalah suatu model yang pada dasarnya melahirkan atau menghasilkan orang-orang yang teralienasi, yakni terpisah dari kemanusiaan mereka atau tidak bisa bertindak secara sebagai manusia. Hal ini merupakan suatu tuduhan pahit bagi kapitalisme karena selain menunjukkan dehumanisasi pada manusia, tetapi juga membuat manusia tidak bisa berbuat apa-apa sesuai dengan kehendak mereka. dibawah kapitalisme, manusia dialienasikan terhadap ,manusia lain, dimana manusia diperlakukan sebagai layaknya potongan mesin dan jika tidak berguna lagi maka harus dibuang. Walau pun disisi lain para kapitalis tahu bahwa mereka adalah mmanusia dengan kebutuhan-kebutuhan manusiawi mereka.
Demikianlah manusia dalam hal ini kaum proletarian juga bertindak seperti benda-benda saja. Mereka tidak memiliki kontrol atas dirinya sendiri karena semuanya diatur dibawah suatu kontrol yang besar dan kuat. Namun, hal ini tidaklah cocok dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang mengontrol apa yang dilakukannya. Dan inilah alienasi karena kapitalisme.
G. KRIRIK TERHADAP MARX
            Para pemikir dari Mazhab Frankfurt (Teori Kritis) mengkritik beberapa pemikiran yang dinyatakan oleh Karl Marx yang dianggap tidak relevan lagi dengan zaman modern, di antaranya:
1. Dalam pemikirannya, Marx mengatakan bahwa kapitalisme akan hancur dengan sendirinya yang disebabkan oleh kontradiksi internal yang dimiliki kapitalisme itu sendiri. Dalam hal ini Marx melupakan bahwa kapitalisme mampu mengembangkan mekanisme efektif sehingga tetap bertumbuh biak dan makin kokoh.
2. Analisis kelas karena di dalam masyarakat kapitalisme lanjut masyarakat atau antara kelas masyarakat saling melebur sehingga penindasan kaum kapitalis terhadap pekerja tidak terjadi lagi melainkan semuanya ditindas oleh sistem.
3. Di dalam teorinya juga Marx yang mengatakan kaum proletar merupakan subjek revolusi karena peleburan kelas-kelas masyarakat yang menyebabkan mereka tidak lagi memiliki semangat revolusioner.
4. Penindasan sekarang tidak lagi bersifat fisik atau paksaan melainkan sangat halus, tersamar sehingga kaum tertindas menganggapnya sebagai sesuatu yang normal.[4]






H. PENUTUP
Manusia merupakan makhluk yang unik dengan segalah yang dia miliki termasuk kekuasaan manusiawinya. Untuk memahami manusia Marx melakukan berbagai pendekatan dan dari pendekatan-pendekatan itu, sampailah Marx pada suatu pandangan yang secara garis besar menolak sistem kapitalis karena memperalat manusiadan membuat manusia kehilangan kontrol atas dirinya dan harus bekerja dibawah sebuah pengontrol yang lebih besar. Dengan demikian, manusia tidak dapat berbuat apa-apa seperti benda. Padahal manusia sebenarnya dan seharusnya menjadi tuan atas tindakan dan aktifitasnya sendiri.
Manusia bekerja guna bisa bertahan hidup dan terutama merupakan suatu ekspresi kekuasaan manusiawinya. Namun, manusia tidak menghendaki terjadinya alienasi oleh sistem yang menekan. Kapitalis menjadi sebuah sistem yang disalahkan atas dehumanisasi yang terjadi pada manusia sebab telah mengakibatkan manusia kehilangan kontrol atas dirinya dan aktifitasnya.





DAFTAR  PUSTAKA
Kebung,  Konrad. Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2008.
Lubis, Akhyar Yusuf. Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme, Postkolonia Hingga Multikulturalisem. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2015.
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1999.


[1]Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 87-104.
[2] Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme, Postkolonia Hingga Multikulturalisem (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 246.
[3] Frans Magnis-Suseno, Op. Cit., hlm. 10.
[4] Akhyar Yusuf Lubis, Op. Cit., hlm. 9-10.

[1] Konrad Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008 ), hlm. 119-152.