Minggu, 22 Mei 2016

KEHENDAK DAN KEBEBASAN MANUSIA

KEHENDAK DAN KEBEBASAN MANUSIA

I.          PENDAHULUAN
“Jika kita manusia, maka kita adalah bebas; dan kalau kita tidak bebas, kita bukannya manusia”. Ungkapan ini merupakan butir refleksi folosofis seorang eksistensialis yang dalam jajaran para filsuf dikenal dengan nama Jean Paul Sartre. Melalui ungkapan tersebut sebenarnya Sartre hendak menegaskan bahwa “adanya manusia itu selalu sebagai makhluk bebas.”[1] Dengan kata lain, kebebasan merupakan salah satu aspek yang dimiliki oleh manusia. Manusia memilikinya dalam dirinya karena secara kodrati manusia berada sebagai makhluk yang berkebebasan.
Kendatipun demikian, tidak dapat dumungkiri bahwa di samping memiliki aspek kebebasan, manusia juga memiliki aspek kehendak. Di satu sisi, manusia adalah makhluk yang bebas, tetapi di sisi lain manusia pun adalah makhluk yang berkehendak. Hal ini menunjukkan bahwa aspek kebebasan pada manusia bertalian erat dengan aspek kehendaknya. Pertalian itu secara cukup eksplisit dapat dirumuskan sebagai berikut. Manusia tidak dapat tidak berkehendak karena ia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Ia mempunyai kemampuan menghendaki apa yang disukainya atau memilih secara bebas apa yang disukainya.[2] Dengan demikian, kita boleh sampai pada kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang berkehendak serentak memiliki kebebasan.
Segala pembahasan dalam paper sederhana ini bermaksud menguraikan aspek kehendak dan kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Dua aspek ini mewujud dalam berbagai kegiatan manusia dalam upaya untuk mencapai dan memenuhi tujuan ultim adanya. Karenanya pembahasan tentang kehendak dan kebebasan ini tidak terpaut jauh dari aspek-aspek lain seperti kesadaran dan keharusan.  Penjelasan aspek-aspek tersebut dirangkum dari berbagai pandangan dan pemikiran filosofis yang bersumber dari sejumlah karya-karya filsafat tentang manusia dalam beberapa buku filsafat.  
    
II.       MANUSIA: MAKHLUK YANG BERKEHENDAK
Dalam metafisika kehendak disebut dengan istilah appetitus yang juga berarti kecenderungan. Kecenderungan di sini dikaitkan dengan manusia karena manusia adalah makhluk yang secara alamiah memiliki kecenderungan (appeetitus naturalis). Ia adalah makhluk yang cenderung memaui atau menginginkan sesuatu. Dengan rumusan lain, manusia adalah makhluk yang berkehendak.
Berbicara tentang kehendak pada manusia tidak terlepas dari beberapa unsur penting. Kehendak selalu dikaitkan dengan objek tertentu yang kepadanya kecenderungan manusia terarah. Kehendak juga selalu bersinggungan dengan budi sebagai pengarah dan dan dasar kecenderungan. Pembahasan selanjutnya tentang kebebasan tidak terlepas dari dua aspek ini.
2.1     Objek dan Watak Kodrati Kehendak[3]
Manusia menyatakan dan mempertimbangkan, tetpi ia juga berkehendak dan memilih. Dalam perbuatan berkehendaknya, sperti dalam perbuatan mengenalnya, keakuaan hadir dalam dirinya dan menguasai dirinya. Ia mempunyai kemampuan menghendaki apa yang yang disukai, memilih apa yang dikendakinya. Kehendak yang dimiliki manusia secara mutlak adalah kebaikan atau ada sebagai kebaikan. Kebaikan adalah “ ada” sebagai objek kemauan. Itulah sebabnya mengapa manusia seharusnya cenderung kearah kebaikan dalam dirinya, kebaikan sempurna. Seandainya manusia di dunia ini dapat mengenal Tuhan sebagaimana ada-Nya, ia akan berada di hadapan objek total kehendaknya. Untuk itu, manusia tidak mengenal Tuhan secara utuh dan ia dapat menyimpang dari kebaikan yang diberikan. Pengingkaran eksplisit dari Tuhan itu bisa terjadi, karena manusia dapat berpaling secara eksplisit kearah objek lain seperti; kehormatan, kesenangan, dan kekuasaan.
Dengan kata lain, manusia secara mutlak ingin bahagia. Secara objektif, kebahagian berada dalam Tuhan, kebaikan sempurna, dan kehendak manusia, menurut kodratnya sendiri, cenderung kepada-Nya. Akan tetapi, secara subjektif manusia mempunyainkemampuan untuk meletakan kebahagiannya dalam realitas lain dan pada akhirnya mengarah kepada Tuhan.
Objek atau arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut tujuan.  Ini senantiasa adalah kebaikan. Kebaikan ini berujud material atau nonmaterial, fisik atau moral, riil atau semu saja.
2.2        Budi dan kehendak[4]
Ada hubungan yang sangat erat antara budi dan kehendak. Kehendak dari dirinya sendiri buta. Kehendak tertarik oleh suatu kebaikan yang diperlihatkan kepadanya oleh budi. Orang membedakan kebaikan subjektif dari kebaikan objektif. Setiap kebaikan memang bersifat subjektif karena berelasi dengan manusia sebagai subjek. Namun, subjektif tidak sama dengan subjektivisme. Suatu kenyataan menjadi baik bukan melulu karena dinilai baik oleh subjek. Dasar kebaikan ialah kenyataan itu sendiri. Kebaikan seperti ini disebut kebaikan objektif atau kebaikan yang benar. Kebaikan dan kebenaran tak dapat dipisahkan. Dsar kebaikan bukan subjek, melainkan kenyataan yang objektif. Kebenaran diperlihatkan kepada kehendak sebagai kebaikan melalui budi. Di sini, ada hubungan erat antara budi sebagai lumen natural (cahaya kodrati) dan kehendak sebagai desiderium naturale (keinginan kodrati). Panggilan manusia adalah menjadi diri yang sejati. Diri yang sejati sama dengan diri yang benar dan indah.   
III.     KEBEBASAN MANUSIA
3.1     Apa itu kebebasan?[5]
Bagian ini menjelaskan arti kebebasan dalam terang pemahaman Lehay sebagaimana ditulisnya dalam karyanya “Siapakah Manusia?”. Untuk mempermudah pemahaman ia membandingkan manusia dan binatang.
Menurutnya, pada umumnya, kata kebebasan berarti ketiadaan paksaan. Ada bermacam-macam paksaan dan kebebasan. Kebebasan fisik adalah ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban; misalnya, tidak ada paksaan, hukum, keharusan atau apapun bagi seorang Katolik untuk pergi misa setiap hari. Kebebasan psikologis (kebebasan pilihan) adalah ketiadaan paksaan psikologis. Paksaan psikologis berupa kecenderungan-kecenderungan yang memaksa seseorang untuk melakukan beberapa kegiatan tertentu. Demikianlah, seekor binatang yang lapar (tidak terlatih) dipaksa oleh kelaparannya untuk memakan makanan yang diberikannya atau kelinci dipaksa oleh ketakutannya untuk melarikan diri saat bahaya datang. Binatang-binatang tidak dipaksa untuk melakukan hal itu oleh suatu kekuatan luar atau suatu keharusan moral. Mereka dipaksa berbuat demikian oleh pengaruh yang menekan dari kecenderungan-kecenderungan mereka. Secara psikologis mereka tidak bebas.
Sebaliknya, manusia lapar dapat menahan diri untuk tidak makan, dan seorang prajurit yang ditakutkan oleh bom-bom mempunyai kesanggupan untuk tetap ada di posnya. Manusia secara psikologis bebas. Persis inilah kekhusussan manusia bahwa ia sudah mulai mengatasi segala macam pengaruh dan determinasi.
Secara khusus Lehay membahas kebebasan psikologis. Kebebasan psikologis disebutnya sebagai kebebasan untuk memilih, karena kebebasan itulah yang memungkinkan si subjek untuk memilih antara berbagai tindakan yang mungkin. Orang menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak, yang dapat berbuat atau tidak berbuat (kebebasan berbuat), atau berbuat dengan cara begini atau begitu (kebebasan spesifikasi). Setiap kali kebebasan kehendak manusia dibicarakan, kebebasan psikologis itulah yang dimaksudkan.  
3.2     Beberapa Pandangan tentang Kebebasan[6]
3.2.1 Pandangan yang Bertentangan
Dalam sejarah perkembangan filsafat, terdapat sejumlah pemikiran tentang kebebasan manusia. Pandangan yang umum mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas sekaligus terikat. Dua kebenaran ini saling bertentangan, maka para filsuf cenderung untuk menghapus salah satu dari dua keduanya. Hal ini terjadi dalam aliran yang disebut pan-determinisme. Segala (pan) kegiatan di dunia ini terjadi dalam suatu keharusan yang bersifat determinis. Ekstrem yang lain menolak segala keharusan. Bebas harus mutlak dan tanpa ikatan.
a)    Determinisme Total
Determinisme total atau pan-determinasi dimaksudkan sebagai aliran yang mengakui bahwa determinasi alam berlaku untuk segala kegiatan di dunia temasuk tindakan manusia. Aliran ini menyangkal kebebasan dan transendensi roh terhadap materi. Manusia tidak bebas karena segala kegiatan yang ada di dunia ini berjalan dengan suatu keharusan.
Ada pelbagai macam pan-determinisme. Determinisme fisik-biologis berlaku untuk dunia fisika-kimia dan dunia makhluk hidup yang nampak dalam hubungan aksi dan reaksi yang berjalan dengan suatu tujuan. Pan-determinisme yang lain adalah determinisme sosial. Faktor yang menentukan tidakan manusia ialah lingkungan sosial. Lingkungan dengan struktur bahasa dan struktur etnologis menentukan cara manusia berpikir dan bertindak. Ada juga determinisme psike. Dalam hal ini psike khususnya kesadaran bawah menentukan kelakuan manusia.
b)   Kebebasan Total
Menurut determinisme, semua yang ada di dunia ini berjalan dengan suatu keharusan, maka manusia tidak bebas dan tidak otonom. Ekstrem yang terbalik mengatakan bahwa justru otonomilah yang paling khas untuk manusia. Otonomi, menurut mereka, tidak mungkin berada di antara keharusan dan keterikatan. Otonomi menuntut adanya kebebasan yang total dan mutlak. Manusia tetap berada dalam status “indifference”, tidak terpaksa dan tanpa suatu keharusan baik kepada yang satu atau kepada yang lain. Sebab, segala keharusan bertentangan dengan kebebasan sejati.
Sartre sebagaimana dikutip oleh Konrad Kebung memandang kebebasan sebagai keterlepasan dari segala keharusan dan ikatan. Manusia harus menciptakan diri. Sartre mengatakan eksistensi mendahului esensi. Eksistensi yang dimaksudkan adalah kebebasan.[7]    
3.2.2 Dualime
Dualisme melihat determinisme dan kebebasan manusia sebagai dua kenyataan yang sama sekali asing satu sama lain. Aliran ini mempertahankan baik kebebasan maupun keharusan (determinisme), tetapi mengorbankan kesatuan. Determinisme berlaku bagi manusia sejauh jasmaniah, sedangkan kebebasan berlaku bagi manusia sejauh rohaniah.
3.2.3 Paradoks
Paradoks berbeda dari dualisme. Memang baik filsafat dualisme maupun filsafat paradoks mengakui bahwa dalam diri manusia ada roh dan materi, tetapi roh dan materi sama sekali tidak bertentangan dan asing satu sama lain. Meskipun dua dimensi berbeda, namun dualitas dihayati dalam kesatuan. Kesatuan merupakan suatu kenyataan yang dihayati di dalam diri manusia sendiri. Dalam kebebasan dihayati suatu orientasi kodrati yang menyatakan diri bagaikan suatu seruan yang mengikat secara etis. Paradoks tidak mengahapus kebebasan (determinisme total), tidak menghapus suatu keharusan (indeterminasi total), tidak menghapus kesatuan total. Filsafat bermaksud untuk membawa cahaya ke dalam penghayatan, tidak dengan menghapus hal yang nyata, tetapi dengan setia kepada penghayatan. Kuhayati dalam diriku suatu keharusan (“Jadilah diri yang sejati”) yang harus direalisir secara bebas. Semakin keharusan itu tercapai semakin kebebasan pilihan ikut terarah menuju diri yang sejati.    
3.3     Hakikat Manusia dan Kebebasan
Manusia sudah mulai mampu mengatasi segala macam pengaruh dan determinasi. Namun, ia masih kurang bebas pula sebab dalam banyak hal masih terpaksa bertindak secara tertentu. Ini bukan hanya kebetulan saja, melainkan termuat di dalam hakikatnya sendiri, yang juga selalu mengandung ketidaksempurnaan.
Walaupun bebas manusia terikat dengan keharusan. Ia mau tak mau menerima keharusan. Manusia menemukan diri sebagai fakta yang tidak dapat diubahkan atau dengan struktur tertentu. Ia merupakan badan yang menjiwa, yang berkegiatan secara tertentu sebagai manusia. Ia meng-aku, berkembang secara terus menerus dan tidak bisa tidak berkegiatan. Jadi, manusia tertimpa oleh keniscayaan kodrati yang termuat dalam hakikatnya. Ia sudah menemukan dirinya sebagai manusia dan tak dapat lain. Ia tidak ‘bebas’ untuk menerima atau menolak hakikatnya sebagai manusia. Bahkan, ia harus menjadi dirinya sendiri, dan tidak dapat lain dari pada meng-aku.[8]
Namun, keharusan dan kebebasan manusia memiliki kesatuan dan saling memuat. Oleh karena meng-aku, manusia (aku) berada. Pengakuan diri itu terjadi dengan keniscayaan yang mutlak. Mau tidak mau ia mengakui diri sendiri, dan tidak bisa tidak mengamininya. Ia terpaksa bebas dalam artian ‘ia tidak bebas untuk bebas atau tidak’, ‘ia harus bebas’. Hakikatnya sendiri memang diberikan sebagai data, tetapi bukan sebagai bejana yang sudah jelas. Manusia dengan bebas menyusun kaharusannya, dengan sadar ia mendirikan keterpaksaannya. Manusia mengharuskan dirinya secara pribadi. Dengan demikian, manusia membuat hakikatnya sendiri.[9]
3.4     Ketiga jenis kegiatan bebas[10]
Kecenderungan dominan bukanlah suatu kecenderungan yang mendeterminasi. Meskipun kecenderungan itu menimbulkan suatu pengaruh yang kuat atas kegiatan-kegiatan dari seseorang, namun ia tidak pernah dapat memaksa orang itu untuk mengikutinya. Kecenderungan itu sendiri, sebagaimana dikehendaki dan dijalankan  secara bebas, demikian juga ia bisa dibantah tiap-tiap saat, bahkan dibinasakan secara bebas. Oleh karena itu orang dapat memebedakan tiga kategori fundamental dari kegiatan bebas.
               Kategori pertama adalah yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan dominan; ia mewujud secara konkret, gaya hidup yang telah dipilih oleh seseorang secara bertahap. Sejauh kecenderungan itu membesar, kegiatan-kegiatan itu menjadi lebih mudah setapak, sehingga kadang-kadang kegiatan-kegiatan itu kelihatan dilaksanakan secara instingtif dan otomatis.
               Kategori kedua,  kegiatan bebas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan  yang dilakukan orang kontra kecenderungan dominan. Orang-orang yang biasanya mengikuti kecenderungan-kecenderungan egoism mereka kadang-kadang melakukan kebaikan dan kebajikan dan sebaliknya orang-orang yang berusaha  berjalan dalam arah kebaikan moral kadang menyeleweng dari ideal mereka. Penyelewengan-penyelewengan  dari garis pokok dalam kehidupan seseorang menunjukkan bahwa kepribadian belum  dipersatukan secara total oleh ideal yang dominan. Namun idealnya masih tetap, tidak diragukan, diikuti dan dihormati.
               Kategori ketiga, adanya pemisahan total dari kecenderungan  dominan itu. Orang meninggalkan garis kelakuannya yang biasa, dan mengubah orientasi fundamental kehidupannya.
3.5     Dua Macam Kebebasan
               Kebebasan memiliki banyak arti tergantung konteks dimana kebebasan itu digunakan sebagai term yang mendukung suatu pernyataan atau juga menjatuhkan pernyataan tersebut. oleh karena itu kebebasan dapat diterjemahkan menurut macamnya yang mungkin sesuai dengan konteks kata kebebasan itu digunakan. Kebebasan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kebebasan puluhan dan kebebasan sejati. Berikut dua macam kebebasan tersebut,
·            Kebebasan Pilihan[11]
Dengan “kebebasan pilihan” dimaksud bahwa manusia bebas untuk memilih antara ini atau itu, untuk bertindak atau tidak. Kehendak sendiri harus menentukan. Tidak ada apaun di laur kehendak yang menentukan, tidak ada paksaan. Inti dari kebebasan pilihan yakni kehendak pribadi tanpa doronga atau intimidasi dari luar diri seseorang, karena itu dengan bebas memilih sendiri.
·            Kebebasan Sejati sebagai panggilan[12]
Kebebasan sejati  atau kebebasan kodrati tertuang dalam ungkapan “kemerdekaan harus dimerdekakan”.  Aku dipanggil untuk semakin bebas dari segala penghalang untuk menuju diriku yang sejati. Arah puluhan saya semakin sejalan dengan panggilan saya sebagai manusia. Namun seperti yang telah dijelaskan adanya “penghalang itu yang menyebabkan manusia terpaksa memilih karena ia kurang tahu pilihan yang terbagik bagi dirinya. Unsur egisme merupakan salah astu penghalang manusia untuk menuju pada kebaikan sejati.
                  Kebebasan sejati  dieralisasikan memalui kebebasan pilihan. Semakin manusia dengan suatu ketetapan terarah pada kebaikannya yang sejati, maka kebebasan pilihan  semakin kurang berfungsi. Namun pertentangan antara kebebasan puluhan dan kebebasan sejati merupakan hal yang khas untuk manusia. Paradoks berhubugnan dengan hakikat kebebasan manusia. Keharusan (kodrati) hadir dalam kebebasan (pilihan).
Oleh karena itu, hakikat kebebasan  bukanlah “bebas untuk memilih”, melainkan penentuan diri (self determination).
3.6     Perkembangan Arah Kebebasan[13]
3.6.1. Meramalkan Masa Depan
               Setiap putusan –pilihan baru berlandasan semua pertemuan dan situasi sejauh telah dibangun, diamini, atau ditolak sampai sekarang sehingga mendapat latar belakang yang lebih kaya. Jadi, hasil putusan-pilihan konkret samapi sekarang telah meramalkan masa depan. Misalnya kebebasan dalam hal memilih sekolah, kalau kawin, dan juga kalau ingin memilih pekerjaan.
3.6.2. Kontinuitas Arah
               Kebebasan manusia berkembang dengan perkembangan keterlibatan dengan yang-lain. Endapan masa lampau makin memberikan arah dan impak structural sehingga subjek makin melibatkan diri dengan objek-partner- situasi tertentu, dengan cara tertentu, dengan intensitas dan perhatian tertentu.
               Kedewasaan kebebasan  bukan terletak pada sikap plin-plan, sikap tidak konsekuen, tidak konstan, sikap fragmentaris dan momentan, yang liar yang tidak dapat diramalkan, yang tanpa arah. Justru yang ditekankan adalah kedewasaan dalam memilih sesuai dengan putusan-putusan yang telah dibuat demi kebaikan.
3.6.3. Indifference
               Indifference sebagai langkah berikutnya mustahil menjadi inti kebebasan. Dalam indifference manusia dapat menghadapai lanjutan pengambilan posisi, tanpa ‘prasangka’ apa pun. Semua proyek berikutnya dapat dihadapi dengna keterbukaan total, atau dapat dibandingkan benar-baiknya dengan suatu patokan mutlak; kemudia ditentukan dengan soverignity (kekuasan) penuh. Pada saat ini subjek dapat bertindak tepat sebaliknya daripada yang dilaksanakannya sekarang. Ini juga alasan pokok dari para indeterminis: klaau manusia pikir kembali, maka di dalam situasi dulu dennga motif-motifnya pada waktu itu, manusia sebetlnya juga dapat bertindak secara lain dan memilih obje-motif lain.
3.6.4 Puncak Kebebasan
Kebebasa. justru kurang sempurna jikalau belum cukup dideterminasi oleh masa lampau. Belum dewasa kalau belum cukup terarah, kalau belum sukup menetap diri pada tujuan dan mengikat diri pada cita-cita. Kebebasan itu melum cukup jelas mengartikan dan menghargakan diri dan yang lain; masih kabur, masih ‘bebas’ dalam arti negative terhadap dirinya dan yang lain.
               Kebebasan yang benar itu suatu dinamik kontinu; ketertujuan makin mencolok dan meruncing. Manusia itu makin senang pada arah putusan- pilihannya. Ia makin stalib dan dapt diramakan apa yang akan dibuat.

IV.    KETERARAHAN PADA KEBAIKAN SEJATI
Pada bagian ini dicantumkan dan dijelaskan tentang motivasi rasional dan kebaikan sejati, dan seruan kepada manusia untuk menjadi diri sejati. Beberapa pokok ini dirasa penting ketika membicarakan kehendak dan kebebasan pada manusia. Uraian mengenai pokok-pokok penting tersebut diadaptasi kelompok dari buku Antropologi Filsafat Manusia karya Albert Snidjers.[14]
4.1     Motivasi Rasional dan Kebaikan Sejati
Pengetahuan manusia bersifat rasional. Tindakannya didahului oleh suatu pertimbangan yang bersifat rasional. Tindakan yang bersifat rasional inilah yang disebut motivasi rasional atau dorongan untuk bertindak atas dasar pertimbangan budi. Sementara tindakan itu sendiri berkaitan dengan kehendak manusia.
Kehendak (appetites naturalis) yaitu hasrat rasional dibedakan dari appetites sensitivus, hasrat indrawi. Kehendak hanya bergerak kalu diperlihatkan kepadanya suatu kebaikan, tetapi tidak semua baik. Manusia bisa salah dan berdosa. Seorang pencuri tertarik oleh suatu kebaikan, namun pada saat itu juga ia tahu bahwa ia melakukan hal yang objektif jahat yaitu mencuribarang milik orang lain. sesuatu yang jahat dinilai oleh pencuri sebagai kebaikan karena ia dikuasai oleh nafsu memilki yang tak teratur dan tidak rasional. Tindakan manusia baru dapat pengetahuan bersifat benar dan sesuai dengan kenyataan. Karena itu, tidak semua kegiatan sungguh disebut baik kalau terarah pada yang sejati dan ia taat pada kebaikannya itu. Dalam hal ini, tindakan perlu dipertanggungjawabkan secara rasional. Kebaikan diperlihatkan oleh budi sebagai kebaikan yang objektif dan rasional. Kebaikan yang demikianlah yang disebut sebagai kebaikan sejati yang kepadanya manusia secara bebas terarah.  
4.2     Seruan Menjadi Diri Sejati
Kehendak manusia tidak bergerak kalau tidak ditarik oleh suatu kebaikan. Kebaikan sebagai sesuatu yang umum dan tak terbatas tidak pernah ditemukan dalam kenyataan konkret. Hal yang konkret ‘ini’ atau ‘itu’ tetap terbatas, dan keterbatasannya tetap diketahui dalam cahaya kebaikan yang tak terbatas. Berhadapan dengan hal yang terbatas selalu dapat dipertimbangkan pro dan kontra dan manusia tetap bebas untuk mengatakan “ya” atau “tidak”. Manusia memiliki kebebasan pilihan yaitu kebebasan untuk memilih dan manusia juga bebas terhadap sesuatu yang terbatas.
Meskipun manusia bebas terhadap hal yang terbatas, namun di dalam kebebasan pilihan juga hadir suatu keharusan. Aku mempunyai kewajiban menuju (menghendaki) kebaikan sejati. Keharusan itu bukan determinisme. Untuk keharusan yang bersifat deterministis, aksi dan reaksi bersifat pasif dan berjalan dengan suatu tujuan. Lain halnya dengan manusia. Keharusan di dalam kehendak direalisasikan secara bebas. Keharusan etis menyatakan dirinya padaku sebagai suatu imperatif kategoris, bukan hipotetis. Suatu imperatif hipotetis berdasar pada suatu syarat. Kalau Anda ingin pandai bahasa Inggris, Anda harus belajar. Pandai dalam bahasa Inggris bukan kewajiban mutlak. Imperatif kategoris bersifat mutlak dan berdasr pada kodrat diri manusia sendiri. Keharusan kategoris mengharuskan secara mutlak, tetapi tidak terlaksana secara paksa. Ia terlaksan secara bebas. Keharusan kodrati dihayati sebagai imperatif kategoris. Hubungan mereka lebih dihayati sebagai suatu seruan yang mengharapkan jawaban. Seruan tidak dapat ditawar-tawar, tetapi bersifat kategoris dan mewajibkan secara etis.
Keharusan kodrati secara analog ditemukan pada alam, tumbuhan, dan hewan. Manusia pun seperti segala makhluk yang lain tidak bebas untuk menentukan arah keharusan kodratinya. Namun, pelaksanaannya bukan dengan suatu keharusan yang bersifat deterministis. Kewajiban diketahui dan dilaksanakan dengan bebas. Manusia tetap dapat bertindak bertentangan dengan kewajibannya. Keharusan kodrati mendorong manusia pada diri sejati yaitu kebaikan sejati, tetapi tidak memaksa. Arah kodrati bukan dari saya (manusia) dan dihayati sebagai suatu seruan. Arahnya satu saja, sama seperti bunga mawar secara kodrati terarah pada diri yang indah. Bunga mawar menuju diri secara deterministis, tidak ada pengetahuan, tidak ada kemauan (kehendak), dan tidak ada kebebasan. Sebaliknya, manusia merealisasikan keharusan kodrati menuju diri yang sejati (kebaikan sejati) secara bebas. Manusia tahu tentang kemungkinan-kemungkinanyang terbuka dan ia harus memilih. Imperaratif kategoris hanya mengatakan ‘arahkan dirimu pada kebaikan sejati’ atau dalam rumusan lain “jadilah diri yang sejati”. Selebihnya, manusialah yang mepertimbangkan dan mengambil keputusan secara bebas untuk menghendakinya atau meletakkan kehendaknya pada yang lain.

V.  PENUTUP
 Seluruh pembahasan dalam tulisan ini bermuara pada kesimpulan bahwa manusia adalah makkhluk yang berkehendak dan memiliki kebebasan. Secara kodrati dan dalam tuntunan akal budi kehendak manusia itu terarah  pada diri sejati yang adalah kebaikan sejati. Keterarahan kodrati pada diri sejati pada manusia itu berisfat aktif dan pelaksanaanya bersumber pada dirinya sendiri. Manusia dapat meneyeleweng, tetapi menjadi diri sejati merupakan keharusan yang bersifat mewajibkan secara etis. Keterarahan kodrati bukan dari diri manusia, tetapi manusia harus menaatinya. Sementara itu, kebebasan manusia muncul dalam pilihan yang berasal dari dalam dirinya untuk menentukan (a self determination) jawaban “ya’ atau “tidak” secara bebas terhadap keterarahan kodrati tersebut



[1]Konrad Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hlm. 100.
[2]Louis Lehay, Siapakah Manusia? (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 175.
[3] Ibid.
[4]Albert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 126.  
[5]Louis Lehay, op. cit., hlm. 182.
[6]Albert Snijders, op. cit., hlm. 117-122.
[7]Konrad Kebung, op. cit., hlm. 92.
[8]Anton Baker, Antropologi Metafisik (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 217
[9]Ibid., hlm. 218.
                [10]Louis Lehay, op. cit., hlm. 201-202.
[11]  Albert Snijders, op. cit, hlm. 129.
                [12]  Ibid, hlm. 130.
[13] Anton Baker, op. cit., hlm. 242-245.
[14]Albert Snijders, op. cit, hlm. 127-128.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar