I.
PENDAHULUAN
“Jika kita manusia, maka kita adalah bebas; dan kalau kita tidak bebas,
kita bukannya manusia”. Ungkapan ini merupakan butir refleksi folosofis seorang
eksistensialis yang dalam jajaran para filsuf dikenal dengan nama Jean Paul
Sartre. Melalui ungkapan tersebut sebenarnya Sartre hendak menegaskan bahwa “adanya
manusia itu selalu sebagai makhluk bebas.”[1] Dengan
kata lain, kebebasan merupakan salah satu aspek yang dimiliki oleh manusia. Manusia
memilikinya dalam dirinya karena secara kodrati manusia berada sebagai makhluk
yang berkebebasan.
Kendatipun demikian, tidak dapat dumungkiri bahwa di samping memiliki aspek
kebebasan, manusia juga memiliki aspek kehendak. Di satu sisi, manusia adalah
makhluk yang bebas, tetapi di sisi lain manusia pun adalah makhluk yang
berkehendak. Hal ini menunjukkan bahwa aspek kebebasan pada manusia bertalian erat
dengan aspek kehendaknya. Pertalian itu secara cukup eksplisit dapat dirumuskan
sebagai berikut. Manusia tidak dapat tidak berkehendak karena ia adalah makhluk
yang secara esensial berkehendak. Ia mempunyai kemampuan menghendaki apa yang
disukainya atau memilih secara bebas apa yang disukainya.[2] Dengan
demikian, kita boleh sampai pada kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang
berkehendak serentak memiliki kebebasan.
Segala pembahasan dalam paper sederhana ini bermaksud menguraikan aspek kehendak
dan kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Dua aspek ini mewujud dalam berbagai
kegiatan manusia dalam upaya untuk mencapai dan memenuhi tujuan ultim adanya.
Karenanya pembahasan tentang kehendak dan kebebasan ini tidak terpaut jauh dari
aspek-aspek lain seperti kesadaran dan keharusan. Penjelasan aspek-aspek tersebut dirangkum dari
berbagai pandangan dan pemikiran filosofis yang bersumber dari sejumlah
karya-karya filsafat tentang manusia dalam beberapa buku filsafat.
II. MANUSIA: MAKHLUK YANG BERKEHENDAK
Dalam metafisika kehendak disebut
dengan istilah appetitus yang juga berarti kecenderungan. Kecenderungan
di sini dikaitkan dengan manusia karena manusia adalah makhluk yang secara
alamiah memiliki kecenderungan (appeetitus naturalis). Ia adalah makhluk
yang cenderung memaui atau menginginkan sesuatu. Dengan rumusan lain, manusia
adalah makhluk yang berkehendak.
Berbicara tentang kehendak pada
manusia tidak terlepas dari beberapa unsur penting. Kehendak selalu dikaitkan
dengan objek tertentu yang kepadanya kecenderungan manusia terarah. Kehendak
juga selalu bersinggungan dengan budi sebagai pengarah dan dan dasar
kecenderungan. Pembahasan selanjutnya tentang kebebasan tidak terlepas dari dua
aspek ini.
2.1 Objek dan Watak Kodrati Kehendak[3]
Manusia menyatakan dan mempertimbangkan, tetpi ia juga
berkehendak dan memilih. Dalam perbuatan berkehendaknya, sperti dalam perbuatan
mengenalnya, keakuaan hadir dalam dirinya dan menguasai dirinya. Ia mempunyai
kemampuan menghendaki apa yang yang disukai, memilih apa yang dikendakinya.
Kehendak yang dimiliki manusia secara mutlak adalah kebaikan atau ada sebagai kebaikan. Kebaikan adalah “
ada” sebagai objek kemauan. Itulah sebabnya mengapa manusia seharusnya
cenderung kearah kebaikan dalam dirinya, kebaikan sempurna. Seandainya manusia
di dunia ini dapat mengenal Tuhan sebagaimana ada-Nya, ia akan berada di
hadapan objek total kehendaknya. Untuk itu, manusia tidak mengenal Tuhan secara
utuh dan ia dapat menyimpang dari kebaikan yang diberikan. Pengingkaran
eksplisit dari Tuhan itu bisa terjadi, karena manusia dapat berpaling secara
eksplisit kearah objek lain seperti; kehormatan, kesenangan, dan kekuasaan.
Dengan kata lain, manusia secara mutlak ingin bahagia.
Secara objektif, kebahagian berada
dalam Tuhan, kebaikan sempurna, dan kehendak manusia, menurut kodratnya
sendiri, cenderung kepada-Nya. Akan tetapi, secara subjektif manusia
mempunyainkemampuan untuk meletakan kebahagiannya dalam realitas lain dan pada
akhirnya mengarah kepada Tuhan.
Objek atau arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut
tujuan. Ini senantiasa adalah kebaikan.
Kebaikan ini berujud material atau nonmaterial, fisik atau moral, riil atau
semu saja.
2.2
Budi dan kehendak[4]
Ada
hubungan yang sangat erat antara budi dan kehendak. Kehendak dari dirinya
sendiri buta. Kehendak tertarik oleh suatu kebaikan yang
diperlihatkan kepadanya oleh budi. Orang membedakan kebaikan subjektif dari
kebaikan objektif. Setiap kebaikan memang bersifat subjektif karena berelasi
dengan manusia sebagai subjek. Namun, subjektif tidak sama dengan
subjektivisme. Suatu kenyataan menjadi baik bukan melulu karena dinilai baik
oleh subjek. Dasar kebaikan ialah kenyataan itu sendiri. Kebaikan seperti ini
disebut kebaikan objektif atau kebaikan yang benar. Kebaikan dan kebenaran tak
dapat dipisahkan. Dsar kebaikan bukan subjek, melainkan kenyataan yang
objektif. Kebenaran diperlihatkan kepada kehendak sebagai kebaikan melalui
budi. Di sini, ada hubungan erat antara budi sebagai lumen natural
(cahaya kodrati) dan kehendak sebagai desiderium naturale (keinginan
kodrati). Panggilan manusia adalah menjadi diri yang sejati. Diri yang sejati
sama dengan diri yang benar dan indah.
III. KEBEBASAN MANUSIA
3.1 Apa itu kebebasan?[5]
Bagian ini menjelaskan arti kebebasan dalam terang
pemahaman Lehay sebagaimana ditulisnya dalam karyanya “Siapakah Manusia?”. Untuk
mempermudah pemahaman ia membandingkan manusia dan binatang.
Menurutnya, pada umumnya, kata kebebasan berarti
ketiadaan paksaan. Ada bermacam-macam paksaan dan kebebasan. Kebebasan fisik
adalah ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral
hukum atau kewajiban; misalnya, tidak ada paksaan, hukum, keharusan atau apapun
bagi seorang Katolik untuk pergi misa setiap hari. Kebebasan psikologis
(kebebasan pilihan) adalah ketiadaan paksaan psikologis. Paksaan psikologis
berupa kecenderungan-kecenderungan yang memaksa seseorang untuk melakukan
beberapa kegiatan tertentu. Demikianlah, seekor binatang yang lapar (tidak
terlatih) dipaksa oleh kelaparannya untuk memakan makanan yang diberikannya
atau kelinci dipaksa oleh ketakutannya untuk melarikan diri saat bahaya datang.
Binatang-binatang tidak dipaksa untuk melakukan hal itu oleh suatu kekuatan
luar atau suatu keharusan moral. Mereka dipaksa berbuat demikian oleh pengaruh
yang menekan dari kecenderungan-kecenderungan mereka. Secara psikologis mereka
tidak bebas.
Sebaliknya, manusia lapar dapat menahan diri untuk tidak makan,
dan seorang prajurit yang ditakutkan oleh bom-bom mempunyai kesanggupan untuk
tetap ada di posnya. Manusia secara psikologis bebas. Persis inilah kekhusussan
manusia bahwa ia sudah mulai mengatasi segala macam pengaruh dan determinasi.
Secara khusus Lehay membahas kebebasan psikologis. Kebebasan
psikologis disebutnya sebagai kebebasan untuk memilih, karena kebebasan itulah
yang memungkinkan si subjek untuk memilih antara berbagai tindakan yang
mungkin. Orang menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak, yang dapat berbuat
atau tidak berbuat (kebebasan berbuat), atau berbuat dengan cara begini atau
begitu (kebebasan spesifikasi). Setiap kali kebebasan kehendak manusia
dibicarakan, kebebasan psikologis itulah yang dimaksudkan.
3.2 Beberapa Pandangan tentang Kebebasan[6]
3.2.1 Pandangan yang Bertentangan
Dalam sejarah perkembangan filsafat, terdapat sejumlah
pemikiran tentang kebebasan manusia. Pandangan yang umum mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang bebas sekaligus terikat. Dua kebenaran ini saling bertentangan,
maka para filsuf cenderung untuk menghapus salah satu dari dua keduanya. Hal ini
terjadi dalam aliran yang disebut pan-determinisme. Segala (pan)
kegiatan di dunia ini terjadi dalam suatu keharusan yang bersifat determinis.
Ekstrem yang lain menolak segala keharusan. Bebas harus mutlak dan tanpa
ikatan.
a) Determinisme Total
Determinisme total atau pan-determinasi dimaksudkan
sebagai aliran yang mengakui bahwa determinasi alam berlaku untuk segala
kegiatan di dunia temasuk tindakan manusia. Aliran ini menyangkal kebebasan dan
transendensi roh terhadap materi. Manusia tidak bebas karena segala kegiatan
yang ada di dunia ini berjalan dengan suatu keharusan.
Ada pelbagai macam pan-determinisme. Determinisme
fisik-biologis berlaku untuk dunia fisika-kimia dan dunia makhluk hidup yang nampak
dalam hubungan aksi dan reaksi yang berjalan dengan suatu tujuan. Pan-determinisme
yang lain adalah determinisme sosial. Faktor yang menentukan tidakan
manusia ialah lingkungan sosial. Lingkungan dengan struktur bahasa dan struktur
etnologis menentukan cara manusia berpikir dan bertindak. Ada juga determinisme
psike. Dalam hal ini psike khususnya kesadaran bawah menentukan kelakuan
manusia.
b) Kebebasan Total
Menurut determinisme,
semua yang ada di dunia ini berjalan dengan suatu keharusan, maka manusia tidak
bebas dan tidak otonom. Ekstrem yang terbalik mengatakan bahwa justru
otonomilah yang paling khas untuk manusia. Otonomi, menurut mereka, tidak
mungkin berada di antara keharusan dan keterikatan. Otonomi menuntut adanya
kebebasan yang total dan mutlak. Manusia tetap berada dalam status
“indifference”, tidak terpaksa dan tanpa suatu keharusan baik kepada yang satu
atau kepada yang lain. Sebab, segala keharusan bertentangan dengan kebebasan
sejati.
Sartre sebagaimana
dikutip oleh Konrad Kebung memandang kebebasan sebagai keterlepasan dari segala
keharusan dan ikatan. Manusia harus menciptakan diri. Sartre mengatakan
eksistensi mendahului esensi. Eksistensi yang dimaksudkan adalah kebebasan.[7]
3.2.2 Dualime
Dualisme melihat
determinisme dan kebebasan manusia sebagai dua kenyataan yang sama sekali asing
satu sama lain. Aliran ini mempertahankan baik kebebasan maupun keharusan
(determinisme), tetapi mengorbankan kesatuan. Determinisme berlaku bagi manusia
sejauh jasmaniah, sedangkan kebebasan berlaku bagi manusia sejauh rohaniah.
3.2.3 Paradoks
Paradoks berbeda dari
dualisme. Memang baik filsafat dualisme maupun filsafat paradoks mengakui bahwa
dalam diri manusia ada roh dan materi, tetapi roh dan materi sama sekali tidak
bertentangan dan asing satu sama lain. Meskipun dua dimensi berbeda, namun
dualitas dihayati dalam kesatuan. Kesatuan merupakan suatu kenyataan yang
dihayati di dalam diri manusia sendiri. Dalam kebebasan dihayati suatu orientasi
kodrati yang menyatakan diri bagaikan suatu seruan yang mengikat secara etis.
Paradoks tidak mengahapus kebebasan (determinisme total), tidak menghapus suatu
keharusan (indeterminasi total), tidak menghapus kesatuan total. Filsafat
bermaksud untuk membawa cahaya ke dalam penghayatan, tidak dengan menghapus hal
yang nyata, tetapi dengan setia kepada penghayatan. Kuhayati dalam diriku suatu
keharusan (“Jadilah diri yang sejati”) yang harus direalisir secara bebas. Semakin
keharusan itu tercapai semakin kebebasan pilihan ikut terarah menuju diri yang
sejati.
3.3 Hakikat Manusia dan Kebebasan
Manusia sudah mulai mampu mengatasi segala macam pengaruh
dan determinasi. Namun, ia masih kurang bebas pula sebab dalam banyak hal masih
terpaksa bertindak secara tertentu. Ini bukan hanya kebetulan saja, melainkan
termuat di dalam hakikatnya sendiri, yang juga selalu mengandung
ketidaksempurnaan.
Walaupun bebas manusia terikat dengan keharusan. Ia mau
tak mau menerima keharusan. Manusia menemukan diri sebagai fakta yang tidak
dapat diubahkan atau dengan struktur tertentu. Ia merupakan badan yang menjiwa,
yang berkegiatan secara tertentu sebagai manusia. Ia meng-aku, berkembang
secara terus menerus dan tidak bisa tidak berkegiatan. Jadi, manusia tertimpa
oleh keniscayaan kodrati yang termuat dalam hakikatnya. Ia sudah menemukan
dirinya sebagai manusia dan tak dapat lain. Ia tidak ‘bebas’ untuk menerima
atau menolak hakikatnya sebagai manusia. Bahkan, ia harus menjadi dirinya
sendiri, dan tidak dapat lain dari pada meng-aku.[8]
Namun, keharusan dan kebebasan manusia memiliki kesatuan
dan saling memuat. Oleh karena meng-aku, manusia (aku) berada. Pengakuan diri
itu terjadi dengan keniscayaan yang mutlak. Mau tidak mau ia mengakui diri
sendiri, dan tidak bisa tidak mengamininya. Ia terpaksa bebas dalam artian ‘ia
tidak bebas untuk bebas atau tidak’, ‘ia harus bebas’. Hakikatnya sendiri
memang diberikan sebagai data, tetapi bukan sebagai bejana yang sudah jelas.
Manusia dengan bebas menyusun kaharusannya, dengan sadar ia mendirikan
keterpaksaannya. Manusia mengharuskan dirinya secara pribadi. Dengan demikian,
manusia membuat hakikatnya sendiri.[9]
3.4 Ketiga jenis kegiatan bebas[10]
Kecenderungan
dominan bukanlah suatu kecenderungan yang mendeterminasi. Meskipun
kecenderungan itu menimbulkan suatu pengaruh yang kuat atas kegiatan-kegiatan
dari seseorang, namun ia tidak pernah dapat memaksa orang itu untuk
mengikutinya. Kecenderungan itu sendiri, sebagaimana dikehendaki dan
dijalankan secara bebas, demikian juga
ia bisa dibantah tiap-tiap saat, bahkan dibinasakan secara bebas. Oleh karena
itu orang dapat memebedakan tiga kategori fundamental dari kegiatan bebas.
Kategori pertama adalah yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan
dominan; ia mewujud secara konkret, gaya hidup yang telah dipilih oleh
seseorang secara bertahap. Sejauh kecenderungan itu membesar, kegiatan-kegiatan
itu menjadi lebih mudah setapak, sehingga kadang-kadang kegiatan-kegiatan itu
kelihatan dilaksanakan secara instingtif dan otomatis.
Kategori
kedua, kegiatan bebas yang terdiri dari
kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang kontra kecenderungan dominan. Orang-orang yang
biasanya mengikuti kecenderungan-kecenderungan egoism mereka kadang-kadang
melakukan kebaikan dan kebajikan dan sebaliknya orang-orang yang berusaha berjalan dalam arah kebaikan moral kadang
menyeleweng dari ideal mereka. Penyelewengan-penyelewengan dari garis pokok dalam kehidupan seseorang
menunjukkan bahwa kepribadian belum
dipersatukan secara total oleh ideal yang dominan. Namun idealnya masih
tetap, tidak diragukan, diikuti dan dihormati.
Kategori
ketiga,
adanya pemisahan total dari
kecenderungan dominan itu. Orang
meninggalkan garis kelakuannya yang biasa, dan mengubah orientasi fundamental
kehidupannya.
3.5 Dua Macam
Kebebasan
Kebebasan memiliki banyak arti
tergantung konteks dimana kebebasan itu digunakan sebagai term yang mendukung
suatu pernyataan atau juga menjatuhkan pernyataan tersebut. oleh karena itu
kebebasan dapat diterjemahkan menurut macamnya yang mungkin sesuai dengan
konteks kata kebebasan itu digunakan. Kebebasan dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu kebebasan puluhan dan kebebasan sejati. Berikut dua macam kebebasan
tersebut,
Dengan “kebebasan
pilihan” dimaksud bahwa manusia bebas untuk memilih antara ini atau itu, untuk
bertindak atau tidak. Kehendak sendiri harus menentukan. Tidak ada apaun di
laur kehendak yang menentukan, tidak ada paksaan. Inti dari kebebasan pilihan
yakni kehendak pribadi tanpa doronga atau intimidasi dari luar diri seseorang,
karena itu dengan bebas memilih sendiri.
Kebebasan
sejati atau kebebasan kodrati tertuang
dalam ungkapan “kemerdekaan harus dimerdekakan”. Aku dipanggil untuk semakin bebas dari segala
penghalang untuk menuju diriku yang sejati. Arah puluhan saya semakin sejalan dengan
panggilan saya sebagai manusia. Namun seperti yang telah dijelaskan adanya
“penghalang itu yang menyebabkan manusia terpaksa memilih karena ia kurang tahu
pilihan yang terbagik bagi dirinya. Unsur egisme merupakan salah astu
penghalang manusia untuk menuju pada kebaikan sejati.
Kebebasan sejati dieralisasikan memalui kebebasan pilihan.
Semakin manusia dengan suatu ketetapan terarah pada kebaikannya yang sejati,
maka kebebasan pilihan semakin kurang berfungsi.
Namun pertentangan antara kebebasan puluhan dan kebebasan sejati merupakan hal
yang khas untuk manusia. Paradoks berhubugnan dengan hakikat kebebasan manusia.
Keharusan (kodrati) hadir dalam kebebasan (pilihan).
Oleh karena itu,
hakikat kebebasan bukanlah “bebas untuk
memilih”, melainkan penentuan diri (self determination).
3.6 Perkembangan Arah Kebebasan[13]
3.6.1. Meramalkan
Masa Depan
Setiap putusan –pilihan baru
berlandasan semua pertemuan dan situasi sejauh telah dibangun, diamini, atau
ditolak sampai sekarang sehingga mendapat latar belakang yang lebih kaya. Jadi,
hasil putusan-pilihan konkret samapi sekarang telah meramalkan masa depan.
Misalnya kebebasan dalam hal memilih sekolah, kalau kawin, dan juga kalau ingin
memilih pekerjaan.
3.6.2. Kontinuitas
Arah
Kebebasan manusia berkembang dengan
perkembangan keterlibatan dengan yang-lain. Endapan masa lampau makin
memberikan arah dan impak structural sehingga subjek makin melibatkan diri
dengan objek-partner- situasi tertentu, dengan cara tertentu, dengan intensitas
dan perhatian tertentu.
Kedewasaan kebebasan bukan terletak pada sikap plin-plan, sikap
tidak konsekuen, tidak konstan, sikap fragmentaris dan momentan, yang liar yang
tidak dapat diramalkan, yang tanpa arah. Justru yang ditekankan adalah
kedewasaan dalam memilih sesuai dengan putusan-putusan yang telah dibuat demi
kebaikan.
3.6.3.
Indifference
Indifference sebagai langkah
berikutnya mustahil menjadi inti kebebasan. Dalam indifference manusia dapat
menghadapai lanjutan pengambilan posisi, tanpa ‘prasangka’ apa pun. Semua proyek
berikutnya dapat dihadapi dengna keterbukaan total, atau dapat dibandingkan
benar-baiknya dengan suatu patokan mutlak; kemudia ditentukan dengan
soverignity (kekuasan) penuh. Pada saat ini subjek dapat bertindak tepat
sebaliknya daripada yang dilaksanakannya sekarang. Ini juga alasan pokok dari
para indeterminis: klaau manusia pikir kembali, maka di dalam situasi dulu
dennga motif-motifnya pada waktu itu, manusia sebetlnya juga dapat bertindak
secara lain dan memilih obje-motif lain.
3.6.4 Puncak
Kebebasan
Kebebasa. justru
kurang sempurna jikalau belum cukup dideterminasi oleh masa lampau. Belum
dewasa kalau belum cukup terarah, kalau belum sukup menetap diri pada tujuan
dan mengikat diri pada cita-cita. Kebebasan itu melum cukup jelas mengartikan
dan menghargakan diri dan yang lain; masih kabur, masih ‘bebas’ dalam arti
negative terhadap dirinya dan yang lain.
Kebebasan yang benar itu suatu
dinamik kontinu; ketertujuan makin mencolok dan meruncing. Manusia itu makin
senang pada arah putusan- pilihannya. Ia makin stalib dan dapt diramakan apa
yang akan dibuat.
IV. KETERARAHAN PADA KEBAIKAN SEJATI
Pada bagian ini dicantumkan dan dijelaskan
tentang motivasi rasional dan kebaikan sejati, dan seruan kepada manusia untuk
menjadi diri sejati. Beberapa pokok ini dirasa penting ketika membicarakan
kehendak dan kebebasan pada manusia. Uraian mengenai pokok-pokok penting
tersebut diadaptasi kelompok dari buku Antropologi Filsafat Manusia karya Albert
Snidjers.[14]
4.1 Motivasi Rasional dan Kebaikan Sejati
Pengetahuan manusia bersifat rasional. Tindakannya
didahului oleh suatu pertimbangan yang bersifat rasional. Tindakan yang
bersifat rasional inilah yang disebut motivasi rasional atau dorongan untuk
bertindak atas dasar pertimbangan budi. Sementara tindakan itu sendiri
berkaitan dengan kehendak manusia.
Kehendak (appetites naturalis) yaitu hasrat
rasional dibedakan dari appetites sensitivus, hasrat indrawi. Kehendak
hanya bergerak kalu diperlihatkan kepadanya suatu kebaikan, tetapi tidak semua baik.
Manusia bisa salah dan berdosa. Seorang pencuri tertarik oleh suatu kebaikan,
namun pada saat itu juga ia tahu bahwa ia melakukan hal yang objektif jahat
yaitu mencuribarang milik orang lain. sesuatu yang jahat dinilai oleh pencuri
sebagai kebaikan karena ia dikuasai oleh nafsu memilki yang tak teratur dan
tidak rasional. Tindakan manusia baru dapat pengetahuan bersifat benar dan
sesuai dengan kenyataan. Karena itu, tidak semua kegiatan sungguh disebut baik
kalau terarah pada yang sejati dan ia taat pada kebaikannya itu. Dalam hal ini,
tindakan perlu dipertanggungjawabkan secara rasional. Kebaikan diperlihatkan
oleh budi sebagai kebaikan yang objektif dan rasional. Kebaikan yang
demikianlah yang disebut sebagai kebaikan sejati yang kepadanya manusia secara
bebas terarah.
4.2 Seruan Menjadi Diri Sejati
Kehendak manusia tidak bergerak kalau tidak ditarik oleh
suatu kebaikan. Kebaikan sebagai sesuatu yang umum dan tak terbatas tidak
pernah ditemukan dalam kenyataan konkret. Hal yang konkret ‘ini’ atau ‘itu’
tetap terbatas, dan keterbatasannya tetap diketahui dalam cahaya kebaikan yang
tak terbatas. Berhadapan dengan hal yang terbatas selalu dapat dipertimbangkan
pro dan kontra dan manusia tetap bebas untuk mengatakan “ya” atau “tidak”. Manusia
memiliki kebebasan pilihan yaitu kebebasan untuk memilih dan manusia juga bebas
terhadap sesuatu yang terbatas.
Meskipun manusia bebas terhadap
hal yang terbatas, namun di dalam kebebasan pilihan juga hadir suatu keharusan.
Aku mempunyai kewajiban menuju (menghendaki) kebaikan sejati. Keharusan itu
bukan determinisme. Untuk keharusan yang bersifat deterministis, aksi dan
reaksi bersifat pasif dan berjalan dengan suatu tujuan. Lain halnya dengan
manusia. Keharusan di dalam kehendak direalisasikan secara bebas. Keharusan
etis menyatakan dirinya padaku sebagai suatu imperatif kategoris, bukan
hipotetis. Suatu imperatif hipotetis berdasar pada suatu syarat. Kalau Anda
ingin pandai bahasa Inggris, Anda harus belajar. Pandai dalam bahasa Inggris
bukan kewajiban mutlak. Imperatif kategoris bersifat mutlak dan berdasr pada
kodrat diri manusia sendiri. Keharusan kategoris mengharuskan secara mutlak,
tetapi tidak terlaksana secara paksa. Ia terlaksan secara bebas. Keharusan
kodrati dihayati sebagai imperatif kategoris. Hubungan mereka lebih dihayati
sebagai suatu seruan yang mengharapkan jawaban. Seruan tidak dapat ditawar-tawar,
tetapi bersifat kategoris dan mewajibkan secara etis.
Keharusan kodrati secara analog ditemukan pada alam,
tumbuhan, dan hewan. Manusia pun seperti segala makhluk yang lain tidak bebas
untuk menentukan arah keharusan kodratinya. Namun, pelaksanaannya bukan dengan
suatu keharusan yang bersifat deterministis. Kewajiban diketahui dan
dilaksanakan dengan bebas. Manusia tetap dapat bertindak bertentangan dengan
kewajibannya. Keharusan kodrati mendorong manusia pada diri sejati yaitu
kebaikan sejati, tetapi tidak memaksa. Arah kodrati bukan dari saya (manusia)
dan dihayati sebagai suatu seruan. Arahnya satu saja, sama seperti bunga mawar secara
kodrati terarah pada diri yang indah. Bunga mawar menuju diri secara deterministis,
tidak ada pengetahuan, tidak ada kemauan (kehendak), dan tidak ada kebebasan.
Sebaliknya, manusia merealisasikan keharusan kodrati menuju diri yang sejati
(kebaikan sejati) secara bebas. Manusia tahu tentang kemungkinan-kemungkinanyang
terbuka dan ia harus memilih. Imperaratif kategoris hanya mengatakan ‘arahkan
dirimu pada kebaikan sejati’ atau dalam rumusan lain “jadilah diri yang
sejati”. Selebihnya, manusialah yang mepertimbangkan dan mengambil keputusan
secara bebas untuk menghendakinya atau meletakkan kehendaknya pada yang lain.
V. PENUTUP
Seluruh pembahasan dalam
tulisan ini bermuara pada kesimpulan bahwa manusia adalah makkhluk yang
berkehendak dan memiliki kebebasan. Secara kodrati dan dalam tuntunan akal budi
kehendak manusia itu terarah pada diri
sejati yang adalah kebaikan sejati. Keterarahan kodrati pada diri sejati pada
manusia itu berisfat aktif dan pelaksanaanya bersumber pada dirinya sendiri. Manusia
dapat meneyeleweng, tetapi menjadi diri sejati merupakan keharusan yang
bersifat mewajibkan secara etis. Keterarahan kodrati bukan dari diri manusia,
tetapi manusia harus menaatinya. Sementara itu, kebebasan manusia muncul dalam
pilihan yang berasal dari dalam dirinya untuk menentukan (a self
determination) jawaban “ya’ atau “tidak” secara bebas terhadap keterarahan
kodrati tersebut
[1]Konrad
Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide (Jakarta: Prestasi Pustaka,
2008), hlm. 100.
[2]Louis
Lehay, Siapakah Manusia? (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 175.
[3] Ibid.
[4]Albert
Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan
Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 126.
[7]Konrad
Kebung, op. cit., hlm. 92.
[8]Anton
Baker, Antropologi Metafisik (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 217
Tidak ada komentar:
Posting Komentar