Rabu, 18 Mei 2016

PRAKTIK MONEY POLITIC (POLITIK UANG) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SEBAGAI CIKAL BAKAL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA


PRAKTIK MONEY POLITIC (POLITIK UANG) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SEBAGAI CIKAL BAKAL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Perpolitikan lokal hingga nasional selalu mengalami perubahan. Hal ini menuntut partai politik (parpol) sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Perubahan tersebut menjadi tantangan bagi masing-masing parpol. Misalnya masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol yang cendrung koruptif. Kini, pada masyarakat juga muncul kecenderungan menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin. Dengan kata lain, visi misi serta latar belakang parpol pengusung tidak diperhatikan oleh masyarakat umum. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh parpol kian terkikis.
Dengan cara money politics hanya calon yang memiliki dana besar yang dapat melakukan kampanye dan sosialisasi. Hal ini memperkecil kesempatan bagi kandidat perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas dan kapabilitas tinggi sehingga mereka tidak akan dikenal masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini, luar biasa korup.[1] Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan berjalan di tempat atau bahkan terhenti. Tidak ada gebrakan yang berarti dalam mencegah dan memberantas praktik politik uang.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah letih menanti perbaikan dan bosan dengan janji-janji politik. Keberadaan golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala daerah makin mengukuhkan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang komitmen pertanggungjawaban parpol terhadap konstituennya masih sangat minim. Sehingga membuat para pemilih menjadi tidak respek dan bahkan anti terhadap parpol.[2]
Memperhatikan kondisi politik yang berkembang saat ini, praktik politik uang baik pada saat pemilu Presiden, Gubernur, Bupati, bahkan sampai pemilihan Kepala Desa sudah sering terjadi. Politik uang dikemas dalam berbagai bentuk seperti pemberian hadiah, pembagian kupon, tambahan uang lembur, uang transport, dan sumbangan. Politik uang sudah “melekat” dengan masyarakat seolah sudah menjadi rutinitas lima tahunan. Dalam Kompas.com, disebutkan bahwa “Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan 85 kasus politik uang terkait dengan pemilihan legislatif 9 April lalu”.[3] Inilah yang melatarbelakangi penyusunan paper sederhana ini yaitu memberi pemahaman kepada pembaca dan masyarakat secara umum bahwa praktik politik uang ini sangat berbahaya, dan merupakan cikal bakal tindak pidana korupsi di Indonesia.

LANDASAN TEORI
Politik Uang
            Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi: "Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."[4]
Berdasarkan UU diatas money politics, dapat diartikan sebagai suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik. Tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (masyarakat). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan suatu kejahatan.
Korupsi[5]
Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi diartikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Semua bentuk pemerintah dan pemerintahan rentan terhadap korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang sudah terorganisir dan luas menybabkan kerugian negara.

 MONEY POLITICS DALAM PEMILU
Praktik money politics dalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain: distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira (hiburan), golongan atau kelompok tertentu. Pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yang illegal. Penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana bantuan sosial atau penyalahgunaan kredit murah.[6]
Praktik money politics di negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan dan pasca pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah pasca pemungutan, yakni setelah pemilu berlangsung. Sasarannya adalah kalangan elit politik atau yang lebih sering terjadi adalah pada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.[7]
Jika dianalisis lebih jauh kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’. Karena dalam masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.
Adapun keberhasilan praktik money politics pada tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan.[8] Dengan demikian para ’pengkhianat’ sulit dilacak.
Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika money politics tetap merajalela niscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam praktik money politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah masyarakat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan dirinya sendiri, pihak penyumbangnya dan kelompoknya, daripada kepentingan umum.

DAMPAK PRAKTIK MONEY POLITICS
Money politics ialah pemberian “sesuatu” yang dilakukan oleh calon pemimpin kepada rakyat agar rakyat memilih mereka. Hal ini merupakan penyimpangan terhadap demokrasi. Namun, tidak sedikit masyarakat yang memanfaatkan mereka (calon pemimpin) dengan cara tetap mengambil uang yang diberikan oleh para calon tersebut, tetapi tidak memilih mereka. Sungguh inilah yang merusak esensi dari demokrasi. Misalnya di daerah kabupaten/kota, money politics terlihat sangat kontras, para calon pemimpin, langsung membeli suara dari setiap masyarakat dengan cara membagi-bagikan barang atau uang tunai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah untuk perorangnya.[9]
Ciri khas demokrasi adalah dengan adanya kebebasan, persamaan derajat, dan kedaulatan rakyat. Dilihat dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah paham yang menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang sesuai dengan norma hukum yang berlaku.[10] Dengan demikian adanya praktik money politics berdampak terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang telah tercemari dalam praktik politik uang. Suara hati nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi kepentingan tertentu.

Dampak lainnya apabila calon pemimpin itu berhasil mendaptkan kursi kepemimpinan karena money politics ialah penyalahgunaan jabatan. Ada begitu banyak kasus-kasus korupsi yang terjadi karena pemimpin menyalahgunakan jabatan politiknya demi kepentingan pribadi dan bukan untuk kepentingan umum.[11] Para calon pemimpin tersebut berdalih karena sebelum menduduki kursi baik legislatif maupun pemerintahan, mereka sudah menggelontorkan modal besar. Dengan demikian korupsi “dilegalkan” agar modal yang telah habis digunakan dalam pemilu dapat kembali lagi, istilahnya “kembali modal”. Para pemimpin umumnya hanya dapat mengumbar janji yang kadang tidak relevan untuk dilaksanakan. Tidak heran, pola “gali lubang tutup lubang” menjadi tren di kalangan elite politik yang cendrung menggunakan politik uang.
Dampak money politic bagi masyarakat ialah demokrasi dijadikan ajang untuk menambah atau bahkan mencari penghasilan tambahan. Masyarakat tidak mempedulikan nilai-nilai demokrasi, yang terpenting ialah mendapatkan uang atau bentuk penyuapan lainnya.[12] Dampak lainnya ialah mesyarakat merasa “berhutang budi” kepada calon pemimpin yang telah memberikan uang supaya dapat dipilih. Dalam hal ini hak asasi seseorang dalam menentukan pilihan dengan penuh kebebasan tidak diperhatikan.
Selain itu politik uang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin atau wakil-wakil rakyat. Ketidak percayaan masyarakat terhadap calon pemimpin memberikan efek negatif bagi bangsa, khususnya Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi dengan system perwakilan. Money politic juga mengakibatkan perpecahan antar masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa berhutang budi kepada calon pemimpin yang telah memberikan “sesuatu”, sehingga sikap fanatik akan timbul dan mereka menganggap para calon pemimpin lainnya buruk jika dibandingkan dengan yang didukung oleh masyarakat tersebut. Konflik antar pendukung masing-masing para calon pemimpin akan terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Sangat disayangkan apabila terjadi perpecahan di masyarakat akibat para politisi dengan modus money politic.
            Money poltic dalam dimensi agama juga tidak dibenarkan dan merupakan tindakan yang salah, sebab memiliki dampak yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa dan negara. Jadi patut disangsikan pemimpin yang dihasilkan dari “kejahatan” money politic akan jujur, adil dan mensejahterahkan masyarakat. Terlebih setiap ada kucuran dana untuk bantuan warga dari anggaran negara akan cendrung dikorupsi atau disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN UMUN SEBAGAI CIKAL BAKAL            TINDAK PIDANA KORUPSI
Salah satu pertimbangan utama dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktik money politics bisa diminimalisir. Hal ini merupakan warisan birokrasi yang sudah koruptif dari masa sebelumnya. Bahkan dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik money politics menjadi semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk dilanggar.
Praktik money politics dalam setiap perhelatan politik menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik yang legal dengan money politics. Singkatnya, sudah terbentuk suatu pandangan umum bahwa politik uang dalam setiap kompetisi politik adalah sebuah kewajaran dan bahkan keharusan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan semacam pandangan bahwa uang merupakan tujuan terselubung dalam setiap perlehatan demokrasi di Indonesia.
            Kancah perpolitikan Indonesia sudah terbiasa dengan metode suap menyuap, baik dalam bentuk uang, barang, dan jasa. Mulai dari tingkat Desa hingga tingkat Nasional sekalipun tidak luput dari politik uang.[13] Secara tidak langsung masyarakat diuntungkan dengan pola “haram” yang marak terjadi menjelang pemilu. Namun, “keuntungan” yang diperoleh mesti dibayar mahal oleh masyarakat umum. Para calon pemimpim tentunya punya perhitungan sendiri akan dana besar yang digelontorkan dalam pemilu. Maka tidak heran jika selama memimpin, praktik KKN akan semakin sering dijumpai. Ada korelasi antara pemimpin yang menggunakan cara illegal untuk dapat terpilih (politik uang) dengan praktik KKN khususnya korupsi yang terjadi selama masa kepemimpinannya.
   Calon pemimpin yang menggunakan politik uang telah mencedrai demokrasi yang adalah kedaulatan penuh dari rakyat. Demi menutup kembali uang yang telah digelontorkan saat pemilihan umum berlangsung, jalan pintas yang digunakan adalah korupsi. Selain itu, untuk mencalonkan diri kempali pada pemilu mendatang seorang calon pemimpin (incumbent) akan mengumpulkan dana demi suksesi pada pemilu yang akan datang. Dana yang dikumpulkan ini oleh Komaruddin disebut sebagai dana “siluman” atau dana illegal yang akan digunakan demi kepentingan politik petahana.[14]
Berdasarkan data dan penjelasan diatas politik uang dalam pemilihan umum memiliki peran besar dalam menghidupkan dan memelihara tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan demikian, meminimalisir atau membasmi politik uang secara tidak langsung sudah sangat membantu dalam mengurangi tindak pidana korupsi di Indonesia. Politik uang merupakan awal dari tindak pidana pidana yang terus berlangsung hingga berujung pada tindak pidana korupsi. Kedewasaan masyarakat dalam berpolitik sanagt dituntut dalam menghadapi ancaman politik uang. Masyarakat mesti diberi penyadaran bahwa dengan mendukung politik uang (menerima uang, barang atau jasa) itu berarti telah mendukung tindak pidana korupsi.

PENUTUP
Jika money politics terus berlangsung, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai (tidak berkompeten dan berkapabilitas) untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat ganda. Masyarakat akan selalu menjadi korban dari berbagai kebijakan yang memperkaya diri atau kelompok tertentu. Karena itulah, politik uang sudah semestinya dianggap sebagi kejahatan besar dalam pentas perpolitikan Indonesia, sehingga harus dilawan dan dimusnahkan secara bersama-sama.
Untuk melawan praktik money politics, diperlukan para politikus sejati yang benar-benar memahami bahwa pengertian politik adalah seni menata negara dan tujuannya adalah menciptakan kebaikan bersama demi masyarakyat yang lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang baik, memiliki keunggulan komparatif dalam artian memiliki kompetensi, dan sekaligus juga memiliki keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik perlu diperjuangkan sampai ditransformasikan ke dalam kebijakan-kebijakan politik yang diambil.
Masyarakat memiliki peran krusial dalam mencegah tindak pidana korupsi dengan melawan praktik politik uang. Tindakan nyata adalah dengan tidak memilih calon yang berupaya untuk memenangi pemilu dengan modus memberikan uang, barang dan jasa. Calon pemimpin dengan modus yang demikian, tentunya akan mengorbankan masyarakat umum jika berhasil memimpin. Kebijakan yang diambil oleh pemimpin yang menggunakan politik uang akan sarat KKN dan tidak pro rakyat. Dengan demikian jelaslah bahwa dengan mencegah praktik money politics, korupsi juga dapat diminimalisir atau bahkan dimusnahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Antulian, Rifa’i. 2004. Politik Uang Jalan Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.

Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi.            Jakarta: KPK. 2006.

Syafiee, Innu Kencana. 1993. Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Money Politic di Indonesia, http://fahrurozi89.wordpress.com/2009/07/28/money-politic/, tanggal akses: 05 Maret 2016




[1] Antulian, Rifa’i. Politik Uang Jalan Pemilihan Kepala Daerah. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004). hlm. 8
[2] Hidayat, Komaruddin. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. (Jakarta: PT. Rajawali Perss, 2004). hlm. 17

[3] http://www.kompas.com/modules/news/article.php?storyid=2393, diakses pada 2 Maret 2016
[4] Antulian, Rifa’I, op., cit., hlm. 10
[5] Komisi Pemberantasan Korupsi,  Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: KPK, 2006),  hlm. 7
[6] Juliansyah, Elvi. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (Bandung: Mandar Maju, 2007). hlm. 24
[7] Ibid., hlm. 29
[8] Ibid.,
[9]Antulian, Rifa’I, op., cit., hlm. 15
[10] Syafiee, Innu Kencana. Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU). (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm. 73
[11] Antulian, Rifa’I, op., cit., hlm. 22
[12] Ibid.,
[13] http://fahrurozi89.wordpress.com/2009/07/28/money-politic/, diakses pada 05 Maret 2016
[14] Hidayat, Komaruddin. op., cit. hlm. 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar