PRAKTIK MONEY POLITIC (POLITIK UANG) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SEBAGAI
CIKAL BAKAL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Perpolitikan lokal hingga
nasional selalu mengalami perubahan. Hal ini menuntut partai politik (parpol)
sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap
perubahan yang terjadi di masyarakat. Perubahan tersebut menjadi tantangan bagi
masing-masing parpol. Misalnya masalah golongan putih (golput) yang muncul
akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol yang cendrung koruptif.
Kini, pada masyarakat juga muncul kecenderungan menginginkan figur-figur baru
sebagai pemimpin. Dengan kata lain, visi misi serta latar belakang parpol
pengusung tidak diperhatikan oleh masyarakat umum. Hal ini menunjukan bahwa
pengaruh parpol kian terkikis.
Dengan cara money politics hanya calon yang memiliki
dana besar yang dapat melakukan kampanye dan sosialisasi. Hal ini memperkecil
kesempatan bagi kandidat perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun
memiliki integritas dan kapabilitas tinggi sehingga mereka tidak akan dikenal
masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite politik karena
kalangan atas yang ada saat ini, luar biasa korup.[1] Penegakan hukum saat ini
bisa dikatakan berjalan di tempat atau bahkan terhenti. Tidak ada gebrakan yang
berarti dalam mencegah dan memberantas praktik politik uang.
Hal ini membuktikan bahwa
masyarakat sudah letih menanti perbaikan dan bosan dengan janji-janji politik.
Keberadaan golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala daerah makin
mengukuhkan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat
Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang
komitmen pertanggungjawaban parpol terhadap konstituennya masih sangat minim.
Sehingga membuat para pemilih menjadi tidak respek dan bahkan anti terhadap
parpol.[2]
Memperhatikan kondisi politik
yang berkembang saat ini, praktik politik uang baik pada saat pemilu Presiden,
Gubernur, Bupati, bahkan sampai pemilihan Kepala Desa sudah sering terjadi.
Politik uang dikemas dalam berbagai bentuk seperti pemberian hadiah, pembagian
kupon, tambahan uang lembur, uang transport, dan sumbangan. Politik uang sudah
“melekat” dengan masyarakat seolah sudah menjadi rutinitas lima tahunan. Dalam
Kompas.com, disebutkan bahwa “Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan
85 kasus politik uang terkait dengan pemilihan legislatif 9 April lalu”.[3] Inilah yang
melatarbelakangi penyusunan paper sederhana ini yaitu memberi pemahaman kepada
pembaca dan masyarakat secara umum bahwa praktik politik uang ini sangat
berbahaya, dan merupakan cikal bakal tindak pidana korupsi di Indonesia.
LANDASAN TEORI
Politik Uang
Pasal
73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi: "Barang siapa pada
waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan
pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan
haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,
dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji
berbuat sesuatu."[4]
Berdasarkan UU diatas money politics, dapat diartikan sebagai suatu
upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga
diartikan jual beli suara pada proses politik. Tindakan membagi-bagikan uang baik
milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (masyarakat).
Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang
kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik
pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka pemberian tidak akan
dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan suatu
kejahatan.
Korupsi[5]
Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, korupsi diartikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum
dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara.
Korupsi atau rasuah
(bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu,
yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam arti yang
luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi atau
kelompok. Semua bentuk pemerintah dan pemerintahan rentan terhadap korupsi
dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam
bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang sudah terorganisir dan luas menybabkan
kerugian negara.
MONEY
POLITICS DALAM PEMILU
Praktik money politics dalam pemilu sangat
beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara
lain: distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader
partai, penggembira (hiburan), golongan atau kelompok tertentu. Pemberian
sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik
tertentu, dengan konsesi-konsesi yang illegal. Penyalahgunaan wewenang dan
fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai
poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana bantuan sosial atau
penyalahgunaan kredit murah.[6]
Praktik money politics di negara ini dapat
dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan dan pasca pemungutan.
Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa
tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama
mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah pasca
pemungutan, yakni setelah pemilu berlangsung. Sasarannya adalah kalangan elit
politik atau yang lebih sering terjadi adalah pada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan-keputusan strategis.[7]
Jika dianalisis lebih
jauh kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran pemilih
atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena
disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat
yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang telah
memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’. Karena dalam masyarakat telah
berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta
bagi-bagi uang.
Adapun keberhasilan
praktik money politics pada tahapan
yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab
sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan penting
bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan dengan voting
tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika pelaku
Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan.[8] Dengan demikian para
’pengkhianat’ sulit dilacak.
Demikian eratnya hubungan
uang dengan politik, sehingga jika money
politics tetap merajalela niscaya parpol yang potensial melakukan praktik
tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana
yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh lebih besar. Sebab
pihak yang diuntungkan dalam praktik money
politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan
kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah masyarakat.
Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan
mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan dirinya sendiri, pihak
penyumbangnya dan kelompoknya, daripada kepentingan umum.
DAMPAK PRAKTIK MONEY POLITICS
Money
politics ialah pemberian “sesuatu” yang dilakukan oleh calon pemimpin
kepada rakyat agar rakyat memilih mereka. Hal ini merupakan penyimpangan terhadap
demokrasi. Namun, tidak sedikit masyarakat yang memanfaatkan mereka (calon
pemimpin) dengan cara tetap mengambil uang yang diberikan oleh para calon tersebut,
tetapi tidak memilih mereka. Sungguh inilah yang merusak esensi dari demokrasi.
Misalnya di daerah kabupaten/kota, money
politics terlihat sangat kontras, para calon pemimpin, langsung membeli
suara dari setiap masyarakat dengan cara membagi-bagikan barang atau uang tunai
puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah untuk perorangnya.[9]
Ciri khas demokrasi
adalah dengan adanya kebebasan, persamaan derajat, dan kedaulatan rakyat.
Dilihat dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah paham yang
menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang sesuai dengan norma
hukum yang berlaku.[10] Dengan demikian adanya
praktik money politics berdampak
terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang telah tercemari dalam praktik politik
uang. Suara hati nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli
demi kepentingan tertentu.
Dampak lainnya apabila
calon pemimpin itu berhasil mendaptkan kursi kepemimpinan karena money politics ialah penyalahgunaan
jabatan. Ada begitu banyak kasus-kasus korupsi yang terjadi karena pemimpin
menyalahgunakan jabatan politiknya demi kepentingan pribadi dan bukan untuk
kepentingan umum.[11] Para calon pemimpin
tersebut berdalih karena sebelum menduduki kursi baik legislatif maupun
pemerintahan, mereka sudah menggelontorkan modal besar. Dengan demikian korupsi
“dilegalkan” agar modal yang telah habis digunakan dalam pemilu dapat kembali
lagi, istilahnya “kembali modal”. Para pemimpin umumnya hanya dapat mengumbar
janji yang kadang tidak relevan untuk dilaksanakan. Tidak heran, pola “gali
lubang tutup lubang” menjadi tren di kalangan elite politik yang cendrung
menggunakan politik uang.
Dampak money politic bagi masyarakat ialah demokrasi
dijadikan ajang untuk menambah atau bahkan mencari penghasilan tambahan.
Masyarakat tidak mempedulikan nilai-nilai demokrasi, yang terpenting ialah
mendapatkan uang atau bentuk penyuapan lainnya.[12] Dampak lainnya ialah
mesyarakat merasa “berhutang budi” kepada calon pemimpin yang telah memberikan
uang supaya dapat dipilih. Dalam hal ini hak asasi seseorang dalam menentukan
pilihan dengan penuh kebebasan tidak diperhatikan.
Selain itu politik uang
mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin atau wakil-wakil
rakyat. Ketidak percayaan masyarakat terhadap calon pemimpin memberikan efek
negatif bagi bangsa, khususnya Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi
dengan system perwakilan. Money politic
juga mengakibatkan perpecahan antar masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat
merasa berhutang budi kepada calon pemimpin yang telah memberikan “sesuatu”,
sehingga sikap fanatik akan timbul dan mereka menganggap para calon pemimpin
lainnya buruk jika dibandingkan dengan yang didukung oleh masyarakat tersebut.
Konflik antar pendukung masing-masing para calon pemimpin akan terjadi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Sangat disayangkan apabila terjadi
perpecahan di masyarakat akibat para politisi dengan modus money politic.
Money poltic dalam dimensi agama juga
tidak dibenarkan dan merupakan tindakan yang salah, sebab memiliki dampak yang
sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa dan negara. Jadi patut disangsikan
pemimpin yang dihasilkan dari “kejahatan” money
politic akan jujur, adil dan mensejahterahkan masyarakat. Terlebih setiap
ada kucuran dana untuk bantuan warga dari anggaran negara akan cendrung
dikorupsi atau disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
MONEY
POLITICS DALAM PEMILIHAN UMUN SEBAGAI CIKAL BAKAL TINDAK PIDANA KORUPSI
Salah satu pertimbangan
utama dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktik money politics bisa diminimalisir. Hal ini merupakan warisan
birokrasi yang sudah koruptif dari masa sebelumnya. Bahkan dalam demokrasi
langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik money politics menjadi semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai
peraturan perundang-undangan yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat
hanya untuk dilanggar.
Praktik money politics dalam setiap perhelatan
politik menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan
mekanisme politik yang legal dengan money
politics. Singkatnya, sudah terbentuk suatu pandangan umum bahwa politik
uang dalam setiap kompetisi politik adalah sebuah kewajaran dan bahkan
keharusan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan semacam pandangan bahwa uang
merupakan tujuan terselubung dalam setiap perlehatan demokrasi di Indonesia.
Kancah
perpolitikan Indonesia sudah terbiasa dengan metode suap menyuap, baik dalam
bentuk uang, barang, dan jasa. Mulai dari tingkat Desa hingga tingkat Nasional
sekalipun tidak luput dari politik uang.[13] Secara tidak langsung
masyarakat diuntungkan dengan pola “haram” yang marak terjadi menjelang pemilu.
Namun, “keuntungan” yang diperoleh mesti dibayar mahal oleh masyarakat umum.
Para calon pemimpim tentunya punya perhitungan sendiri akan dana besar yang
digelontorkan dalam pemilu. Maka tidak heran jika selama memimpin, praktik KKN
akan semakin sering dijumpai. Ada korelasi antara pemimpin yang menggunakan
cara illegal untuk dapat terpilih (politik uang) dengan praktik KKN khususnya
korupsi yang terjadi selama masa kepemimpinannya.
Calon
pemimpin yang menggunakan politik uang telah mencedrai demokrasi yang adalah
kedaulatan penuh dari rakyat. Demi menutup kembali uang yang telah
digelontorkan saat pemilihan umum berlangsung, jalan pintas yang digunakan
adalah korupsi. Selain itu, untuk mencalonkan diri kempali pada pemilu
mendatang seorang calon pemimpin (incumbent) akan mengumpulkan dana demi
suksesi pada pemilu yang akan datang. Dana yang dikumpulkan ini oleh Komaruddin
disebut sebagai dana “siluman” atau dana illegal yang akan digunakan demi
kepentingan politik petahana.[14]
Berdasarkan data dan
penjelasan diatas politik uang dalam pemilihan umum memiliki peran besar dalam menghidupkan
dan memelihara tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan demikian,
meminimalisir atau membasmi politik uang secara tidak langsung sudah sangat
membantu dalam mengurangi tindak pidana korupsi di Indonesia. Politik uang
merupakan awal dari tindak pidana pidana yang terus berlangsung hingga berujung
pada tindak pidana korupsi. Kedewasaan masyarakat dalam berpolitik sanagt
dituntut dalam menghadapi ancaman politik uang. Masyarakat mesti diberi
penyadaran bahwa dengan mendukung politik uang (menerima uang, barang atau jasa)
itu berarti telah mendukung tindak pidana korupsi.
PENUTUP
Jika money politics terus berlangsung, dapat dipastikan bahwa dunia
politik akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi
lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai
(tidak berkompeten dan berkapabilitas) untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat
mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang memiliki
hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara.
Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh
kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang
yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan
untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat ganda. Masyarakat akan
selalu menjadi korban dari berbagai kebijakan yang memperkaya diri atau
kelompok tertentu. Karena itulah, politik uang sudah semestinya dianggap sebagi
kejahatan besar dalam pentas perpolitikan Indonesia, sehingga harus dilawan dan
dimusnahkan secara bersama-sama.
Untuk melawan praktik money politics, diperlukan para
politikus sejati yang benar-benar memahami bahwa pengertian politik adalah seni
menata negara dan tujuannya adalah menciptakan kebaikan bersama demi masyarakyat
yang lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang baik, memiliki keunggulan
komparatif dalam artian memiliki kompetensi, dan sekaligus juga memiliki
keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik perlu diperjuangkan sampai
ditransformasikan ke dalam kebijakan-kebijakan politik yang diambil.
Masyarakat memiliki peran
krusial dalam mencegah tindak pidana korupsi dengan melawan praktik politik
uang. Tindakan nyata adalah dengan tidak memilih calon yang berupaya untuk
memenangi pemilu dengan modus memberikan uang, barang dan jasa. Calon pemimpin
dengan modus yang demikian, tentunya akan mengorbankan masyarakat umum jika
berhasil memimpin. Kebijakan yang diambil oleh pemimpin yang menggunakan
politik uang akan sarat KKN dan tidak pro rakyat. Dengan demikian jelaslah
bahwa dengan mencegah praktik money politics, korupsi juga dapat diminimalisir
atau bahkan dimusnahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Antulian, Rifa’i. 2004. Politik Uang Jalan Pemilihan Kepala Daerah.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden.
2004. Pergulatan Partai Politik di
Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.
Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku
untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: KPK. 2006.
Syafiee, Innu Kencana. 1993. Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU).
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Money Politic di Indonesia,
http://fahrurozi89.wordpress.com/2009/07/28/money-politic/, tanggal akses: 05
Maret 2016
[1] Antulian,
Rifa’i. Politik Uang Jalan Pemilihan
Kepala Daerah. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004). hlm. 8
[2] Hidayat,
Komaruddin. Pergulatan Partai Politik di
Indonesia. (Jakarta: PT. Rajawali Perss, 2004). hlm. 17
[3] http://www.kompas.com/modules/news/article.php?storyid=2393,
diakses pada 2 Maret 2016
[4] Antulian,
Rifa’I, op., cit., hlm. 10
[5] Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku
Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: KPK, 2006), hlm. 7
[6] Juliansyah,
Elvi. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (Bandung: Mandar Maju, 2007). hlm.
24
[7] Ibid., hlm. 29
[8] Ibid.,
[9]Antulian,
Rifa’I, op., cit., hlm. 15
[10] Syafiee,
Innu Kencana. Sistem Pemerintahan
Indonesia (MKDU). (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm. 73
[11] Antulian,
Rifa’I, op., cit., hlm. 22
[12] Ibid.,
[13] http://fahrurozi89.wordpress.com/2009/07/28/money-politic/,
diakses pada 05 Maret 2016
[14] Hidayat,
Komaruddin. op., cit. hlm. 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar